author chapter 9: Arisa Nakamura. .
chapter: 9/??
genre: romance... ??
disclaimer: Semua akan kembali ke tanah... *gaje*
rating: NC - 17 ... *author digampar* kagaklah... becanda.... XDDD..... T
pairing: sendal X sepatu.... *digampar lagi*
A/N: sudah berapa abad ya? akhirnya chapter 9 saia post... Maaf lama soalnya author lupa. XDDD
Di chapter kali ini, author mohon maaf karena ketidak jelasannya. Maaf seenaknya membuat cerita yang tidak logis dan tidak masuk akal dan tidak berbobot karena tidak bercerita mengenai gajah atau dinosaurus.
Maaf jika chapter kali ini tidak memuaskan. T^T
Ah... Saia juga tidak banyak menulis yang aneh-aneh. TwT
Saya harap dapat menulis dengan serius. XDD
Oh iya, gak jadi bikin cerita yang panjang... XDDD
Maaf kalau ceritanya pendek.
= = =
Watashitachi no Tokei #9
*Yuta’s POV*
Kegalauan yang kini menghampirimu
Perasaan bersalah kemudian menyelimutimu
Diiringi sayup-sayup suara kebingungan
Pilihan yang akan menentukan hidupmu
Bunga-bunga mawar merah menghiasi kebun di belakang sekolah ini dengan anggunnya. Aroma samarnya tercium ketika angin berhembus. Harum yang menenangkan.
Aku melangkah perlahan menuju salah satu bangku kayu di kebun mawar ini. Kemudian duduk di atasnya diikuti seorang lelaki yang sedari tadi terdiam bersamaku.
Kami berdua terdiam dalam keheningan. Tanganku terasa dingin dan memucat. Kurasa aku gugup.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” suara Aoi terdengar lembut memecah keheningan.
“Ngg… A.. aku bingung memulainya.” Ucapku gugup.
“Ungkapkan saja.”
“Sebenarnya…” aku berpikir sejenak. Mencari-cari kalimat yang tepat.
“Aku… hanya ingin... Memutuskan hubungan kita.” Ucapku dengan suara gemetar.
Dapat kurasakan tatapan penuh rasa terkejut yang ditujukan kepadaku oleh lelaki di sampingku ini.
“Mengapa?” tanya Aoi.
“…” Aku hanya menunduk terdiam. Menatap dedaunan yang berserakan di atas tanah.
“Karena Kai?” tanya Aoi dengan suara pelan.
Aku mengangkat wajahku. Butiran bening itu mengalir di pipiku. Mengalir seenaknya membasahi pipiku. Nafasku tak beraturan. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Maaf.” Ucap Aoi.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Ka…”
“Bukankah seharusnya aku yang minta maaf?! Aku telah memainkan perasaanmu!” aku menatap wajahnya.
Aoi menggeleng dan tersenyum lembut.
“Kau sama sekali tak salah.” Kemudian sebuah tetesan air, terjatuh dari salah satu mata hitamnya. “Yuta.”
Aoi bangkit berdiri. Ia langsung membalikkan badannya dan berjalan menjauh dariku. Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang.
“Aoi… Sebenarnya….” Aku berbicara pelan.
“Aku… Menyukaimu…”
= = =
*Camui’s POV*
Aku masih terduduk di salah satu sisi kebun bunga mawar yang dekat dengan lapangan atletik. Masih menatap bunga-bunga mawar merah yang mempesona itu serta masih duduk bersama dengan orang yang saat ini sangat kupuja. Kamijo.
"Hmm... boleh aku bertanya satu hal lagi?" tanyaku sambil menatap lelaki tampan itu.
"Katakanlah..." ucapnya sambil tersenyum lembut.
"Sebelumnya maafkan aku menanyakan hal ini." aku berhenti sesaat. "Apakah kau tahu tentang…"
"Ya?"
"Ruki?" aku menatap Kamijo cemas. Ekspresi wajahnya berubah. Tidak selembut sebelumnya. Meski sedikit, dapat kulihat raut ketidaksukaan dari wajahnya. Kurasa ia tidak ingin membahas tentang Ruki.
Mungkinkah hanya perasaanku saja bahwa Kamijo dan Ruki memiliki hubungan yang tidak begitu baik akhir-akhir ini? Seperti ada hawa dingin yang memisahkan keduanya. Tapi entahlah… Aku sungguh-sungguh berharap bahwa itu hanyalah perasaan berlebihanku saja.
“Maksudmu?” Kamijo mengerutkan dahinya.
”Tidak… kurasa… ada yang aneh dengannya.” Ucapku. “Dan kurasa itu ada kaitannya denganku dan juga dirimu.”
“Mungkinkah begitu?”
Aku mengangguk. “Apakah ada sesuatu yang tidak kuketahui? Mengenaiku…?”
“…” Kamijo terdiam. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu dariku.
“Tidak.” Ucap Kamijo tegas.
“Benarkah?” tanyaku.
Piriririiii~ suara ponsel Kamijo berbunyi. Ia membuka ponselnya. “Ah, Camui. Maaf… sepertinya kali ini kita tidak bisa pulang bersama.”
“Ada apa?”
“Aku lupa ada janji dengan Hizaki.” Kamijo bangkit berdiri.
“Ah… baiklah.” Ucapku.
“Mau bareng hingga gerbang?”
“Ngg… Tidak. Aku ingin disini dulu.” Tolakku.
“Hmm… Baiklah jika begitu.” Kamijo mengusap pipiku dan kemudian mengecup dahiku lembut.
“Hati-hati di jalan.”
“Kau juga.” Kamijo mengacak-acak rambutku. Ia melangkahkahkan kakinya menjauhiku. Kemudian ia berbalik badan.
“Ah… Jika kau merasa ada yang aneh. Ingatlah baik-baik… Aku yakin kau mengetahuinya.” Kamijo tersenyum dan kembali membalikkan badannya. Aku menatap sosok anggunnya yang tengah melangkah hingga akhirnya hilang dari pandanganku.
“Hhh…”
Apakah ada sesuatu yang kulupakan? Ruki? Kamijo? Apa yang terjadi? Aku memejamkan mataku. Berusaha mengingat sesuatu itu. Sesuatu yang sepertinya lenyap dari memoriku.
Aku ingat. Suara yang selalu terngiang-ngiang di benakku. Suara merdu dari sesosok lelaki bertubuh kecil itu.
Aku ingat. Ketika ia menggenggam tanganku dan menunjuk ke langit yang menyajikan pemandangangan ribuan bintang. Lalu… ketika ia menatap mataku pada malam itu dan berkata sesuatu.
Aku membuka mataku. Kepalaku terasa begitu sakit. Tunggu? Kenangan apa itu? Apa yang ku lakukan dengan Ruki saat itu? Apa yang ia katakan padaku?
Aku bangkit berdiri dan memutuskan untuk mengelilingi kebun mawar. Berharap aku dapat menemukan jawabannya. Hingga akhirnya aku melihat sesosok gadis tengah duduk sendiri di salah satu bangku di kebun mawar ini. Ia tengah menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Yuta!” aku berlari menghampirinya.
= = =
*Hazu’s POV*
"Sudah ikut saja." yap. Kini ia berhasil menarikku hingga bangkit dari kursiku.
"Eh, tunggu. mau kemana?" aku berusaha melepaskan genggamannya, dan berhasil.
"Nanti juga kau tahu." tangan itu menarikku dan tubuhku kurasakan bergerak menjauh dari kursiku. Aku mencoba menyeimbangkan langkahku ketika aku berjalan di belakangnya.
"Tunggu. aku ambil tasku dulu." dengan gerakan yang cukup cepat aku mengambil tasku dengan tangannya yang masih menggenggamku, kemudian berbalik dan kembali berjalan-cukup tergesa-.
sret
sret
Duagh! Aku merasakan kedua kakiku kini sudah tidak menyentuh tanah. Yap, melayang bebas di udara. Wajah di depanku itu-wajah yang aku harap ia tidak bisa melihatku saat ini- sepertinya siap menopang berat badanku.
Reita berbalik badan dan berusaha menahan tubuhku yang terjatuh. Tapi sepertinya, tubuh Reita kehilangan keseimbangan badan. Berharap semua ini hanya mimpi aku akhirnya memejamkan mataku. Hingga akhirnya…
....
....
BRRAAKK~!!!
“Astaga! Kalian tak apa-apa??” tanya Arisa dan Rena yang sepertinya telah bangkit dari tempat duduk mereka.
Aku terduduk dalam diam. Kurasa saat ini wajahku memerah. Tunggu! Apa yang baru saja terjadi?
“Ah! Hazu… Maaf!” Reita kemudian bangun dan duduk di hadapanku. Aku dapat melihat wajahnya memerah meski noseband itu menutupi sebagian wajahnya.
Aku menyentuh bibirku dengan ujung jariku. Kemudian perlahan bangkit berdiri. Tidak!! Aku berlari secepat-cepatnya. Tidak! Aku tidak ingin mengingat apa yang terjadi.
Bibir itu…
“Hazu!!” Reita mengejarku. Aku terus berlari hingga ke ujung koridor yang sepi.
Saaat…
Dua buah lengan melingkar di leherku dan kehangatan menjalar di punggungku.
“Mengapa kau lari?” orang itu mengeluarkan suaranya. Suara rendah yang kutakuti itu.
“…” Aku hanya terdiam. Aku yakin sekali, wajahku sudah sangat merah.
“Kan kau belum pergi ke tempat ajakanku.” Ucap Reita dengan nada suara merengek.
“Aku…”
“Sudahlah. Hal yang barusan tidak usah diingat…” Reita mengusap-usap kepalaku. Ia memegang kedua bahuku dan memaksa agar aku menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.
“Aku malu.” Ucapku jujur akhirnya. Meski aku kesal…
“Kau pikir aku tidak?” ucap Reita. Aku menengadahkan kepalaku dan menatap wajahnya yang tersipu.
“Hei… Ayo ikut aku.” Ajak Reita sambil menarik lenganku lembut.
Makhluk sialan!
= = =
*Rena’s POV*
Kepalsuankah yang selama ini kujalani?
Kepalsuankah yang mengiringi kebahagiaanku?
Semua yang kudapatkan
Cinta, perhatian, dan kasih sayang
Aku menyandarkan punggungku di gerbang. Terdiam mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Mengamati wajah-wajah mereka yang menunjukkan berbagai ekspresi. Bahagia, gembira, sedih, khawatir, cemas.
Bagaimana dengan ekspersi wajahku?
“Mengapa kau tunggu aku di tempat sedingin ini?” seseorang meletakkan sebuah jaket di kepalaku.
Aku menatapnya terdiam.
“Apa kau sudah baikan?” tanya Inaru dengan lembut.
“Ya.” Jawabku singkat.
“…” Inaru terdiam sesaat. Ia menatap mataku lekat-lekat. Berusaha mencari jawaban dari kedua bola mataku.
“Kau ingin langsung pulang?” tanya Inaru.
“Kurasa begitu.” Aku mengambil jaket yang ia letakkan di kepalaku dan memakainya.
Inaru menggenggam tangan kananku. Ia tersenyum kepadaku dan memberi isyarat padaku untuk segera pergi. Aku melangkahkan kakiku, bersamanya.
Genggaman tangan Inaru yang besar terasa hangat. Apakah kehangatan ini palsu?
“Apa kau terburu-buru untuk pulang?” tanya Inaru.
“Tidak juga.” Ucapku.
“Boleh aku menyita waktumu sebentar?” tanya Inaru.
“Ngg…” aku bingung. Jujur saja, sebenarnya aku sedikit lesu hari ini. Kurasa itu perasaan yang … bagaimana menjelaskannya ya? Perasaanku ini… terasa menyedihkan.
“Baiklah.” Tapi aku akhirnya menyetujuinya. Inaru kemudian tersenyum manis.
“Ayo.” Ucapnya dengan penuh semangat.
= = =
*Arisa’s POV*
Akhirnya hari ini semua pulang sendiri-sendiri. Ah… Kuyakin mereka bersama pasangan-pasangan mereka. Lalu bagaimana denganku?
Aku berjalan menelusuri jalan setapak. Kini aku berada di belakang sekolah. Menuju sebuah kuil yang berada di atas bukit. Yang kutahu, kuil itu sudah ditinggal oleh orang-orang. Tak ada yang pernah mengunjungi kuil itu lagi. Bahkan, rumor-rumor bahwa kuil itu angker sudah sering terdengar di telinga penduduk sekitar dan juga murid-murid di Sakura Gakuen.
Aku berhenti melangkah tepat di depan kuil.
Seharusnya, hanya aku yang suka datang ke tempat ini.
“Eh…? Hai!” seorang lelaki yang sudah selesai berdoa membalikkan badan dan menatapku.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku bingung.
“Apa ya?” ia tersenyum sejenak. “Ah…! Kebetulan ada kau, ada sesuatu yang menarik.” Lelaki berambut pirang kecoklatan itu menarik tanganku untuk mengikutinya. Langkahnya terlalu lebar dan cepat. Aku berusaha mengikutinya.
“Hei, tunggu. Kau terlalu cepat.” Ucapku.
“Kau yang terlalu lambat.” Ejeknya sambil tersenyum. Senyuman lebarnya begitu manis.
“Lihat! Kebun bunga mawar terlihat sangat jelas dari sini. Ternyata dilihat dari atas bentuknya seperti bunga mawar raksasa ya.” Ucap Uruha.
“Ah… Indah.” Aku tersenyum menatap ratusan bunga yang berada di kebun itu yang berbaris rapih membentuk sebuah pola. Pola bunga mawar.
“Dari tempat ini, jam horror itu juga terlihat. Banyak sekali tanaman merambatnya.”
“Ya.” Aku mengangguk. Pandanganku tak lepas dari wajah cantiknya.
“Sudah lama ya kita tidak berbincang-bincang.” Uruha duduk dan menyandarkan punggungnya di sebuah pohon di belakangnya. Aku ikut duduk di sampingnya.
“Eh?” Aku menatap Uruha heran. “Ah… iya. Sudah lama sekali.”
“Dulu kita juga sering main bersama bukan?” Uruha kini menengadahkan kepalanya. Menatap gumpalan awan yang berwarna kejinggaan.
Aku hanya terdiam mendengarkannya.
“Aku ingat saat kau menimpukku dengan batu bata. Hehehehe… Kau tahu? Itu cukup menyakitkan.”
“Mengapa kau ingat hal-hal yang memalukan?” aku menatapnya.
“Lihat. Wajahmu memerah.” Uruha tertawa kecil. Aku langsung membenamkan wajahku dengan telapak tanganku.
Kami terdiam sesaat.
“Kau tahu? Jam tua itu? Aku…” aku memulai pembicaraan. Kemudian aku ragu untuk melanjutkannya.
“Kau?”
“Sebenarnya… Saat itu. Aku… mendengarnya. Bunyi itu. Empat kali.” Ucapku akhirnya.
“Benarkah?”
Aku menatap lelaki itu. Matanya membulat. Ia sepertinya terkejut dan mungkin…. Bahagia? Entahlah, aku hanya menerka-nerka…
Aku mengangguk. Kemudian kami berdua terdiam.
“Uruha…”
= = =
*author’s POV*
“Apa yang terjadi??” Camui berlutut menatap Yuta dengan tatapan khawatir. Sedangkan gadis yang berada di hadapannya itu terus menangis. Sebuah tangisan tanpa suara.
“Hei. Yuta?” Camui duduk di samping Yuta. Tempat yang beberapa saat lalu diduduki oleh lelaki yang kini membuat Yuta menangis.
“Yuta, doushita no?” Camui memegang pundak Yuta yang gemetar. Yuta menarik lengan Camui dan memeluk gadis itu. Ia terus menangis.
“Hei, katakanlah… Apa yang terjadi denganmu??” Camui terus berusaha meminta Yuta untuk menceritakan apa yang terjadi.
“Aku mengakhirinya.” Ucap Yuta dengan suara yang bergetar. “Aku… telah mengatakannya. Aku telah… mengakhirinya.”
Camui terdiam sejenak untuk mencerna kalimat Yuta yang membingungkan. Ia akhirnya paham apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. “Sungguh…?”
“Aku merasa sangat bersalah Camui…”
“Tidak.” Camui menggeleng dan air matanya mengalir. “Itu lebih baik dibandingkan kau harus memaksakan dirimu.”
“Kau hebat Yuta.”
Keduanya terdiam dalam keheningan. Diiringi oleh harum samar bunga mawar dan hembusan angin musim gugur yang dingin. Kesunyian yang tak menyenangkan..
Yuta mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia berusaha menghapus butiran air mata yang membasahi pipinya. Kemudian ia merapihkan rambutnya dengan jemari tangannya.
“Perasaanmu sudah membaik?” tanya Camui sembari menghapus air matanya yang juga ikut terjatuh.
“Iya.” Yuta mengangguk. Kemudian ia mengalihkan pandangannya kepada Camui. “Lhaaa!? Kenapa ikut nangis??”
“Eeh? Terbawa suasana. Hehe.” Camui tersenyum lebar masih sambil menghapus air matanya.
Kriyuuuk~
“Eh? Nani?” tanya Camui bingung.
“Eh… suara perut?” Yuta menatap Camui.
“Kau lapar?” Camui menunjuk-nunjuk perut Yuta.
“Tidak.” Yuta menggeleng cepat.
“Bohong sekali. Bagaimana kalau kita ke café di dekat sini?”
Yuta menatap Camui dengan tatapan –aku tak punya uang-.
“Aku yang bayar.” Ucap Camui akhirnya sembari menghela nafas.
“Hore~!!” Yuta langsung bangkit berdiri dan melompat-lompat kegirangan.
‘= .= a
“Uruha…” panggil Arisa.
“Ya?”
“Aku…” Arisa terlihat ragu. Sementara Uruha menanti kelanjutan kalimat Arisa yang menggantung.
“Aku pulang ya~!!” Arisa tiba-tiba berkata dengan nada ceria sambil bangkit berdiri.
“Lho?” Uruha menatap Arisa terheran-heran. “Kenapa?”
“Tidak~! Tidak~! Insting liarku mengatakan aku harus pulang~” Arisa tersenyum gaje =.=. Kemudian ia berjalan menginggalkan tempat itu.
“Arisa…” Uruha bangkit berdiri dan mengejar Arisa. Ia menarik lengan Arisa dan menjatuhkan gadis itu dalam pelukannya. Wajah Arisa terlihat merah padam.
(author nyengir gaje)
“Aku takkan pernah lupa.” Ucap Uruha.
“Legenda itu hanya bohongan!”
“Bukan soal legenda.” Raut wajah Uruha berubah menjadi serius.
“Tidak. Tidak.” Arisa menggeleng dan mendorong Uruha. “Lupakanlah. Itu hanya permainan masa lalu. Tidak usah dianggap serius.”
Arisa berbalik badan dan bergegas meninggalkan lelaki tinggi berambut pirang kecoklatan itu. Ia berlari menuruni tangga kuil.
BRUUK~!!
Ia menabrak seseorang. Teru.
= . . = a
“Kita ingin pergi kemana?” tanya Hazu sambil terus mengikuti Reita yang berjalan di depannya dan menggenggam tangannya.
“Tebak.” Jawab Reita.
“Itu tidak menjawab pertanyaanku.” Ujar Hazu.
“Tentu saja tidak.”
“Hei~!!”
“Hehe…” Reita menatap Hazu dan tertawa jahil.
Mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang pasti tak asing untuk para penghuni Sakura Gakuen. Sebuah menara jam tua yang menjadi sumber legenda paling terkenal di sekolah. Yang menyebabkan berbagai masalah dalam kehidupan Hazu dan teman-temannya. Dan lagi, Hazu sangat benci dengan jam tua rongsok itu.
“Untuk apa kita ke sini?” tanya Hazu ketus.
“Menurutmu?” tanya Reita.
“Menurutku? Mana aku tahu.” Hazu mengangkat bahunya.
Tanpa berkata apa-apa Reita menarik lengan Hazu untuk memasuki bangunan itu. Mereka menaiki anak tangga kayu itu dengan cepat tapi hati-hati. Hingga akhirnya mereka tiba di puncak dari jam tua –laknat- itu.
“Ini….” Aku menatap ke sebuah roda-roda berkarat yang ada di sebuah benda seperti… lemari?
“Mesin dari legenda itu. Maksudku… mesin dari pembuat masalah itu.”
“Jam itu?”
“Ya…” Reita mengangguk.
“Lalu… kenapa kita ke sini?” tanya Hazu.
“Hmm…” Reita tersenyum menatap Hazu.
“Kakakku… ia dulu sekolah disini.” Reita duduk di salah satu sudut ruangan persegi itu. Hazu mendengarkan sembari melihat-lihat bagian-bagian dari mesin jam itu.
“Legenda itu sudah ada?” tanya Hazu.
Reita mengangguk. “Ya. Belum lama.”
“Oh…”
“Jika aku katakan, legenda itu palsu. Apa kau akan percaya?”
Hazu tertegun mendengar pernyataan Reita. Kemudian ia menatap Reita tak percaya.
“Sudah kuduga.” Ucap Reita.
“Apanya?”
“Tidak.” Reita menggeleng.
“Lanjutkan.” Pinta Hazu.
“Legenda itu hanya untuk sebuah keberanian.”
“Keberanian?” Hazu menatap mesin jam itu. “Lalu bagaimana dengan dentangan kelima?”
= = a
Rena dan Inaru kini tiba di sebuah taman bermain. Tempat itu begitu berwarna-warni. Lampu-lampu kecil menyala di semua wahana.
“Mengapa kau mengajakku ke sini?” tanya Rena.
“Eee… Mengapa? Entahlah.” Inaru terus menggenggam tangan Rena dan menautkan jemari tangannya dengan Rena. Mereka terus berjalan mengelilingi taman bermain itu.
“Jawaban yang tidak memuaskan.” Ucap Rena dengan tatapan mata yang tak terlihat antusias.
“Hei… Kenapa kau murung?” tanya Inaru. Rena hanya diam saja. Hingga akhirnya mereka tiba di depan bianglala.
“Entahlah.” Mereka berdua berhenti melangkah di depan bianglala itu. Inaru berbalik badan dan menatap Rena.
“…” Inaru dan Rena terdiam. Keduanya saling bertatapan mata, hingga akhirnya Inaru angkat bicara.
“Hei! Kau harus naik ini bersamaku!” Inaru menunjuk-nunjuk bianglala yang berada di belakangnya. Wajahnya memerah.
Rena membuang muka. Bukan karena ia membenci lelaki yang berada di hadapannya itu, ia hanya tak ingin Inaru melihatnya tersenyum. Sebuah senyum bahagia yang akhirnya menyapu semua rasa murungnya hari ini.
“Aku rasa, aku tak akan bisa menolaknya.” Ucap Rena akhirnya.
“Itu suatu keputusan yang bagus.”
(mengapa kalimat mereka menjadi baku ya??)
Akhirnya kedua orang itu menuju ke antrian bianglala yang tidak terlalu panjang. Mungkin karena hari ini bukan hari libur, maka sedikit yang datang ke taman bermain itu.
Tak lama akhirnya mereka naik ke dalam wahana itu, tepat ketika matahari akan terbenam. Keduanya duduk berhadap-hadapan. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Hingga akhirnya, mereka berada di posisi paling atas bianglala itu.
Pats.
“Mati lampu?” tanya Rena.
“Kurasa begitu.” Ucap Inaru.
Keduanya menatap ke arah barat. Dimana mentari akan menghilang di kaki langit. Cahaya jingga yang lembut menerangi bilik kecil bianglala yang mereka naiki itu.
Rena menatap lelaki di hadapannya itu. Dan sebuah tetesan air mata terjatuh menghiasi wajahnya.
“Hei! Kenapa kau menangis?” Inaru mengerutkan dahinya.
“Tidak.” Rena mengusap wajahnya. Mencoba menghapus air mata yang sepertinya enggan untuk berhenti mengalir.
“Rena….” Inaru mengusap air mata Rena dengan jemarinya.
Rena menatap Inaru dengan wajah yang sangat kacau. (berantakan gitu ya? =.= *author chap 9 dihajar karena menghancurkan suasana*)
“Aku…” Inaru kemudian menggenggam kedua tangan Rena.
= = a
*Arisa’s POV*
Sepertinya aku harus belajar mengenai tata cara berjalan yang baik dan benar. Lagi-lagi aku menubruk seseorang. Hei? Siapa lagi orang yang berada di tempat aneh ini?
Aku menengadahkan kepalaku. Seorang lelaki terlihat kaget menatapku. Teru?
“Teru? Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya kepadamu?” tanya Teru.
“Tidak.” Aku menggeleng.
“Hehe… baiklah.” Mengapa ia begitu imut?
“Jawab pertanyaanku!” ucapku setengah memerintah.
“Hei, mengapa kau jadi galak?” ia mencubit pipiku lembut. “Aku hanya berdoa saja. Kan ada kuil di sini.”
“Bukankah tempat ini angker dan seharusnya tak dikunjungi orang?”
“Pertanyaan itu kukembalikan padamu.” Teru tersenyum.
Aku terdiam kesal…
“Ingin pulang?” tanyanya.
“Ya, sudah sore.”
“Mau bareng?” tanyanya lagi.
Mungkin wajahku sudah memerah?
“Boleh.” Aku mengangguk.
“Dia pulang bersamaku.” Seseorang lelaki entah sejak kapan berdiri di belakangku dan menarik lenganku.
“Nee Uruha… Chotto~” aku berusaha menghentikan langkah kakinya.
“Teru!” Uruha berbalik badan. “Bukankah kau sudah memiliki Sherra? Tidak baik jalan bersama gadis lain.”
“Sherra? Aku…? Hei…” Teru menatap Uruha heran.
“Sepertinya kau salah pengertian...” ucap Teru.
= = =
*Hazu’s POV*
“Bagaimana dengan dentangan kelima?” aku mengulangi pertanyaanku kepada lelaki tak berhidung itu lagi.
“Eeeee~” ia terlihat bingung. “Aku hanya tahu tentang empat dentangan. Kakakku juga tak tahu mengenai dentangan kelima. Ia bilang, tak ada legenda seperti itu di sekolah…. Di jamannya.”
“Baiklah.” Aku mengangguk. “Ceritakanlah tentang dentangan keempat.” Meski aku enggan harus bersamanya saat ini, tapi kurasa ini informasi yang bagus untuk menolong Yuta.
“Seseorang membuat legenda itu. Untuk keberaniannya.” Ucap Reita.
“Keberanian?” ucapku. “Keberanian menyatakan perasaan kepada seseorang?”
“Tepat.” Reita mengangguk.
“Lalu, mengapa hanya dua orang saja yang dapat mendengarnya? Bukankah itu agak aneh jika dipikir dengan logika.”
“Katanya… itu adalah salah satu keajaibannya. Sebuah legenda buatan manusia yang akhirnya menjadi nyata. Jam ini… ia seolah hidup.” Reita menatap ke mesin-mesin jam tua itu.
“Horror.”
“Lebih baik jika kau tanyakan pada kakakku tentang kelengkapannya.” Ucap Reita.
“Itu ide bagus!” aku bangkit berdiri. “Ayo!” aku segera menuju tangga untuk menuruni menara ini.
“Hei hei hei!” Reita menarik lenganku.
“Apa?” tanyaku agak jengkel. Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
“Aku belum selesai.” Reita terlihat cemberut.
“Oh… kupikir…”
“Legenda itu hanya untuk keberanian.” Ucap Reita. “Aku ingin menggunakannya.”
“Maksudmu?” aku bingung dengan pernyataan orang aneh ini.
“Aku… Aku…” Reita masih menggenggam tanganku. Aku hanya menatap tanganku –yang malang- tanpa ingin melepas genggaman tangannya.
“Ore wa…. Kimi ga… dai… suki...” ucapnya gugup.
Aku terdiam.
Terus terdiam….
BAKAAAAA!!!!!
= = =
*Yuta’s POV*
“Kenyang~!! Kenyang~!!” aku mengusap-usap perutku. “Bisa-bisa perutku meledak.”
“Berlebihan! Tidak mungkin lah!” ujar Camui seraya meminum jus strawberry-nya.
“Hehehe… Mungkin saja kan?”
Rrrr~
Ponselku bergetar. Aku mengambilnya dan menatap sebuah nama yang tertera di layarnya.
Prak.
Reflek, aku melempar ponselku ke atas meja.
“Hei. Kenapa?” tanya Camui. Ia mengambil ponsel milikku dan menatap ke layar ponsel itu.
“Aku angkat.” Ucapnya seenaknya sambil kemudian mengangkat panggilan itu.
“Ini Camui… Yuta? … Ada sedikit gangguan dengannya… Eh? …” Camui menatapku dan menjauhkan ponsel itu dari telinganya. “Ia ingin bertemu denganmu.”
“Aku tidak mau.” Aku menggeleng cepat.
“Tapi ia benar-benar ingin bertemu denganmu.” Ucap Camui dengan suara pelan.
“Tidak.” Aku bersikeras.
Camui kembali berbicara dengan orang yang berusaha menghubungiku itu. “Ia menolaknya… Entahlah… Ah…. Baik kalau begitu…. Jaa.”
Camui memberikan ponselku kepadaku. Tatapannya terlihat memaksa. Memaksaku untuk bertemu dengan lelaki itu. Aku tak ingin. Sungguh. Tidak.
“Kurasa kau harus segera menemuinya.” Ucap Camui sembari memainkan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan. Firasatku buruk.
“Tidak ingin.” Aku menolaknya lagi.
“Yuta….” Ujarnya dengan suara –agak- memohon.
“Mengapa harus…?”
“…” Camui menghentikan perdebatannya denganku. Ia menyeruput jusnya dan aku memainkan ponselku.
“Kau harus menemuinya.” Ujarnya lagi.
“Mengapa kau begitu memaksaku?!” tanyaku dengan nada ketus.
“Ia sudah ada di situ.” Camui menunjuk ke arah jendela. Aku menatap ke arah yang ia tunjuk. Lelaki itu berdiri di sana sambil menatap ke arahku.
“Temuilah.” Ujar Camui lagi.
Aku terdiam menatap Camui.
“Jangan biarkan orang menunggu terlalu lama. Tidak baik.”
Aku bangkit berdiri dengan enggan. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
“Jalani saja…” Camui tersenyum.
“Huuf~” aku menghela nafas dan beranjak menuju tempat lelaki itu. Jantungku berdebar tak karuan dan aku dapat merasakan kedua telapak tanganku mendingin.
“Ada apa?” tanyaku.
“Dentangan ke lima…” ujarnya.
“Hah?” aku menggaruk-garuk kepalaku bingung.
“Sebelumnya, aku tak ingin kita berbicara di tempat seramai ini.” Ucap lelaki yang bernama Kai itu.
“Baiklah. Jadi kau ingin berbicara dimana?” tanyaku.
“Di sana mungkin.” Kai menunjuk sebuah taman yang tidak terlalu ramai. Aku menatap Camui yang berada di dalam café. Ia melambai-lambaikan tangannya. Lagi, aku menghela nafas dan kemudian mengangguk.
…………
= = =
*Rena’s POV*
Aku menatap lelaki di hadapanku. Menantikan lanjutan dari kalimatnya yang tadi terpotong.
“Aku … menyayangimu.” Ucap Inaru.
“Eh?”
“Sungguh…” tatapan matanya menunjukkan keseriusan dan kejujuran. Aku tak dapat menemukan setitik kebohongan dari dirinya.
Pats~
Akhirnya listrik kembali menyala dan bianglala akhirnya kembali berputar. Aku menatap ke luar jendela. Matahari sudah tenggelam.
“Kau tidak menghianati aku lagi kan?” tanyaku tanpa menatapnya.
“Aku sadar… kau berharga Rena.” Ucapnya pelan.
“Oh… Benarkah?” tanyaku.
“Kau meragukanku?”
“Kau pernah menghianatiku…”
“Tapi…”
“Aku tak mempermasalahkannya sih.” Kini aku menatapnya sambil tersenyum.
“Rena…” wajahnya tersipu.
“Maukah…. Ngg….”
Aku menanti lanjutan dari kalimat itu.
“Menjadi kekasihku?”
Aku terdiam. “Hahahahahhaa~”
“Hei… Mengapa kau tertawa?” ia terlihat bingung.
“Pertanyaan terbodoh hari ini.”
“Eh?”
“Apakah aku harus menjawabnya?”
“Tentu saja.” Ujarnya tegas.
“…” aku terdiam sesaat, kemudian menghela nafas hingga akhirnya berbicara. “Bukankah aku sudah menjadi kekasihmu?”
“Hehehe…” betapa manisnya wajah itu ketika tersipu. Wajahku memanas. Ya, jika aku bercermin, aku yakin wajahku juga memerah.
Bianglala berhenti.
“Sudah waktunya turun.” Ucapnya.
“Ya, sudah waktunya turun.” Aku mengangguk.
Kami berdua turun dari wahana ini sambil berpegangan tangan. Tangannya begitu dingin. Mungkinkah karena gugup?
Kami berjalan menuju ke wahana lain.
Bruuk… terdengar suara benda terjatuh di belakang kami. Kami menoleh ke asal suara itu. Seorang gadis tengah menjatuhkan tas bawaannya sambil menatap Inaru dengan tatapan hampir menangis.
“Inaru…?” gumamnya pelan.
“Kau…?” Inaru terlihat terkejut.
“Kau kenal dengannya Inaru?” tanyaku.
“Siapa gadis itu?” gadis itu bertanya dengan suara gemetar.
= = =
*Camui’s POV*
Aku melambaikan tanganku kepada gadis berwajah lesu di luar café. Ia akhirnya berbalik badan dan berjalan bersama seorang lelaki yang sangat tak ingin ia temui.
Aku mengalihkan perhatianku kepada jus strawberry di hadapanku. Pandanganku menerawang. Memikirkan banyak hal.
Aku ingat…
Ketika menatap matanya saat itu.
“Dengar, aku tak akan mengulanginya.” Ia mengucapkan sebuah kalimat kepadaku.
“Baiklah.” Aku mengangguk.
Hei~!!
Apa itu tadi? Ruki….?
Aku memejamkan mataku. Berusaha mengingat-ingat sebuah memori yang entah mengapa menghilang dari otakku.
“Huuf…” aku menghela nafasku. Ternyata memang sulit.
Aku menghabiskan jus strawberry-ku. Kemudian aku bangkit berdiri dan meninggalkan café ini seorang diri. Tentu saja. Memang siapa yang ingin menemaniku saat ini? Kamijo? Ia mungkin sedang bersama Teru dan belum menghubungiku hingga saat ini.
Aku menelusuri jalanan yang ramai ini. Menuju sebuah stasiun kereta api yang tidak jauh dari sini. Aku ingin pulang..... Aah~!! Mengapa hari ini terasa begitu melelahkan?
Aku tiba di stasiun yang masih saja padat dengan manusia. Aku benci keramaian seperti ini. Aku memasang headset-ku dan mendengarkan lagu yang kusukai. Itu lebih baik dibandingkan mendengar hiruk-pikuk di sekitarku.
Sebuah kereta berhenti di hadapanku dan pintunya terbuka. Aku masuk ke dalamnya dan tidak ada tempat duduk di sana. Terpaksa, aku harus berdiri meski lelah.
Tuk tuk~
Seseorang menusuk-nusuk punggungku dengan jarinya. Aku berbalik badan untuk melihat siapa orang jahil yang melakukan hal itu kepadaku.
“Ruki??” aku spontan mencopot headset dari kedua telingaku.
“Kau ini, kupanggil tidak menyahut.” Keluhnya.
“Hehehe… Maaf. Aku sedang mendengarkan lagu tadi.” Aku tertawa kecil.
“Kau sendirian?” tanyanya heran.
“Ya. Kamijo sedang ada janji dengan Hizaki.” Ucapku.
“Oh… syukurlah.” Ujarnya pelan. Aku nyaris tak mendengarnya.
“Apa?” tanyaku.
“Eh… Tidak.” Ruki menggeleng cepat.
….
Kami berdua terdiam sejenak hingga akhirnya Ruki memulai pembicaraan.
“Kau ingat…?”
“Apa?” aku menatapnya penasaran.
“Ngg… Tentang waktu itu…” kalimat Ruki begitu menggantung.
“Hei… jangan membuatku penasaran!” omelku.
“Kau tidak ingat ya….” Ruki terlihat murung.
“Aaa? Apaa??” aku menatap Ruki penuh harap. Ceritakanlah apa yang tak kuketahui….
“Tidak tidak… Lebih baik jika tidak usah diingat.” Ruki menggeleng lagi. Aku menangkap rona merah dari wajah putihnya. Aku mengerutkan dahiku.
“Tidak baik jika cerita setengah-setengah~!!” omelku lagi.
“Hei hei… aku tidak ingin menghancurkan hubunganmu dengan Kamijo.” Ucap Ruki.
Kereta kemudian berhenti. Ruki menatapku. “Kurasa kita harus berpisah sekarang.” Ruki tersenyum.
“Eh… baik… hati-hati.” Ucapku sambil melambaikan tanganku.
“Dalam arti sebenarnya.” Ucapnya pelan.
Aku tertegun. Apa maksud Ruki?
Hei kepala! Ingatlah… Kumohon….
Aku memukul-mukul kepalaku sendiri. Mungkin aku dapat mengingatnya dengan cara konyol itu.
. . .
Akhirnya aku tiba di kamarku. Ruangan terindah dan ternyaman sepanjang hidupku. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku dan menatap langit-langit kamarku yang rendah.
“Apa yang kulupakan?” aku merenung.
“Diary!” aku bangkit berdiri dan langsung mengacak-acak laci meja belajarku. Sebuah buku diary berwarna hitam.
Tring…
“Apa itu?” ada sesuatu yang terjatuh ketika aku mengambil buku diary itu.
Dua buah cincin yang ditautkan oleh sebuah rantai tipis yang biasa digunakan untuk kalung. Cincin perak?
Aku mengambil benda itu.
“Tuhan….”
Ingatan itu….
Aku…
Ruki…
Kamijo…
= = = = = = =
*author’s POV*
Dan Festival Olahraga tinggal satu hari lagi….
= = =
= = =
= = =
AKHIRNYAAAA~!!
CHAPTER 10 HAZUUUUUUU~!!!!
Hazu, makasih izinnya kemarin... XDD
Kalau tak kau izinkan, aku tak jadi ngepost... XDD
Gak jelas ya?
Gak jelas ya?
Maaf.... TwT
Gomeeeen~
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar