Title : Eien no Ai
Chapter : 1A
Author : Yuta ‘uke’ Yutaka
Beta : no one
Genre : of course GAJE..
Rating : PG-16
Disclaimer : I own this story. Yeah~ poor me. Just the story line :P
Pairing : read it and you’ll know
Warning : OOC, unbetaed, misstype, GAJE
A/N : I dunno why I wrote this fiction. Hope you like it.
Enjoy~
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
“aku beruntung menyukaimu”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
12 Oktober 20xx Tokyo, Japan.
“TELAT!! TELAT!!”
Suara berisik seorang lelaki yang kini sedang tergesa-gesa turun dari tempat tidur berselimutkan warna hijau rumput yang nyaman mulai menghiasi pagi hari. Dengan cepat ia menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi.
“aduuuh~”
Ia meringis ketika merasakan kakinya tersandung sesuatu. Tanpa memerdulikan benda tadi, lelaki ber-lesung pipi itu mulai mencuci muka dan menggosok giginya. Tak lama, dengan masih menggosok-gosokan handuk ke muka, ia mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu, menggantinya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh anak-anak seumurannya, yang setiap pagi akan diperiksa di depan gerbang.
“Kai~!!” merasa namanya di panggil, ia pun bergegas keluar dengan menjinjing tas serta kaus kaki putihnya. “baru saja aku ingin membangunkanmu” ejek seorang pria berparas cantik sembari meletakkan piring putih di meja makan
“aku akan berterima kasih jika kau memang membangunkanku, Uru..” Kai cemberut dan segera menyambar sandwich mayonya. Uruha terkekeh dan menuangkan susu ke dalam gelas tinggi.
“kau ini sudah besar masih saja seperti bocah” Uruha memukul pelan kepala Kai. Kai meringis
“biar saja” tanpa berlama-lama, sandwichnya telah berada di dalam perutnya, dan tak lupa ia meneguk susu tadi sampai bersi tak tersisa. Memasang kaus kaki dan mengikat sepatunya, Kai berdiri kemudian melambaikan tangan kepada Uruha. “aku pergi” tanpa melihat ke arah Uruha lagi, Kai pun menghilang dari balik pintu
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
“telat~ telat~”
Hanya kata itu saja yang sejak tadi ia gumamkan dari bangun hingga saat ini dimana matanya telah memandang pemandangan yang berbeda. Bukan lagi meja makan dan Uruha, melainkan gedung tinggi, jam besar, serta lapangan yang luas. Kakinya yang tidak sepanjang Uruha, menyulitkannya untuk sampai di kelas dengan kilat. Sepanjang sapuan matanya, Kai tak dapat menemukan sosok murid, maupun guru. Koridor sekolah sudah sepi. Kai yakin ia terlambat jam pelajaran pertama hari ini. Menghentikan langkahnya, ia mencoba mengingat siapakah guru yang akan mengajar pertama. Seperti berhasil mengetahui siapa namanya, Kaipun membalikan badannya dan berlari (lagi) ke atap sekolah.
“sebaiknya aku bolos saja. Byou sensei pasti akan berceramah panjang lebar saat aku masuk” rutuknya dalam hati. Maka ia berlari-lari kecil dengan bersiul.
Pukul Sembilan pagi. Kai melihat arlojinya dan menghela nafas panjang. Bagus! Ia membolos pelajaran matematika. Dengan perasaan bersalah, Kai menengadahkan kepalanya ke langit. Matanya sedikit menyipit karena tak kuat melihat cerahnya langit di atas sana. Gumpalan kapas putih itu menyerupai wajah seseorang yang selalu ada dalam benaknya. Tanpa ia sadari, kini angannya tengah sibuk merogoh saku celananya sendiri, dan seperti telah mendapatkan benda yang ia cari, sebuah bunyi ‘cring’ membuatnya menunduk untuk melihat benda itu.
Strap handphone bertali hitam yang mengaitkan pigura kecil membuat Kai tanpa sadar tersenyum tipis. Foto seseorang yang sudah bertahun-tahun ia kagumi terpajang jelas di dalam pigura berwarna abu-abu metalik itu.
“Miyavi-sama”
Kai menggumamkan nama dari pria yang berada di dalam pigura foto tersebut. Menaruhnya di telapak tangan, dan dengan perlahan ia menggenggam erat benda itu dan menaruhnya di dada.
“berhentilah bersikap seperti orang abnormal seperti itu, Kai”
“apakah mengagumi seseorang itu abnormal bagimu?”
“mengagumi? Menurutku kau lebih dari sekedar mengagumi. Kau mencintainya.”
Kai menggeleng pelan. Kata-kata Uruha membuat hatinya sedikit sakit. Tidak. Tidak sedikit lagi. Bahkan sakit sekali. Mencintai? Uruha seharusnya tahu bahwa ia dan Miyavi bukanlah seorang gay. Dan bukankah itu wajar seseorang seperti Miyavi, ia kagumi? Mengingat Miyavi adalah seorang musisi hebat. Permainan gitarnya yang indah, suaranya yang khas pun sanggup memikat ribuan hati penggemarnya itu. Belum lagi gayanya yang— lagi-lagi Kai menggeleng cepat. Apa yang ia pikirkan tadi?
“Kai?” Terlonjak kaget, Kai segera menyembunyikan strap handphone tadi dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya “kau bolos pelajaran pertama?”
“eh, ah— iya..” jawab Kai terbata ketika matanya melihat Nao yang tengah memandangnya dengan tatapan aneh. Kai yakin lelaki berpipi chubby di sampingnya ini memergoki apa yang sedang ia lakukan. Wajahnya memanas. Rasa-rasanya baru sebentar ia mempunyai waktu untuk sendiri. Tenggelam bersama mimpinya.
“ohh” Nao ber—ooh—panjang dan duduk tepat di samping Kai.
“kau sendiri membolos juga?” Tanya Kai, berusaha untuk mencairkan suasana.
“yap” Nao tersenyum ke arah Kai. “tadi, aku melihat sosok mu yang tengah berlari dari gerbang sekolah dengan tergesa. Kau terlambat lagi?” Nao menoleh. Kai hanya mengangguk. “Lalu setelah beberapa menit, kau tidak menampakan batang hidungmu juga di kelas. Dan aku menyimpulkan bahwa kau membolos.” Kai membulatkan bibirnya. Ceroboh sekali ia membolos. Seharusnya ia tahu bahwa akan ada orang yang melihat sosoknya datang tadi. “tenang saja, sepertinya yang lain ‘tak ada yang menyadari kau datang” dan pria itu pun menghela nafasnya lagi karena lega.
“lalu, kau menyusulku?” Tanya Kai takut-takut
“menurutku, bolos pelajaran Byou sensei sekali-kali memang harus!” Nao mengacungkan jempolnya. Kai hanya tertawa kecil.
Hening.
Setelahnya ‘tak satupun dari Kai mupun Nao yang membuka pembicaraan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kai sendiri sebenarnya tidak menyukai atmosfir ini, namun ia bingung apa yang harus ia bicarakan mengingat Nao mengetahui ‘semuanya’. Ya, pria berkacamata itu entah bagaimana mengetahui ‘semua’ yang Kai sembunyikan. Mengingat ia dan Nao bukanlah teman dekat. Memang lelaki itu adalah teman sepermainan Kai dan Reita (karena reita adalah sepupu Nao) namun, bukan alasan baginya untuk akrab. Nao cenderung sering menutup diri (namun, semenjak SMA ia berubah). Tapi yang membuat Kai harus selalu memeras otaknya untuk berpikir, bagaimana caranya lelaki itu selalu mengetahui segala hal tentang dirinya. Itu membuat Kai berpikir bahwa Nao adalah calon penguntit yang handal.
“nanti malam, Miyavi akan mengadakan live” jantung Kai seolah akan melompat keluar ketika Nao membuka mulutnya dan menyebut nama ‘Miyavi’
“ee— ya, yasudah” Kai gugup “aku tahu itu”
“tidak ingin datang?” Tanya Nao menyelidik
“Uruha tidak akan mengijinkan..” Kai menggeleng cepat. Nao lagi-lagi hanya ber—ooo—panjang “kau datang?”
“tentu. Aku sudah membeli tiket untuk dua orang”
“pasti ingin pergi dengan Saga ya?” celetuk Kai asal.
“yah— sepertinya”
Lalu. Hening kembali. Kai yang mulai merasa tidak enak cepat-cepat berdiri dan mengantongi strap tadi.
“sebaiknya aku kembali ke kelas..” ucap Kai begitu tergesa. Tanpa melihat bagaimana wajah Nao lagi, ia pun pergi begitu saja.
.
.
.
.
“tadi kau membolos ya?” kali ini lelaki ber-rambut hitam legam. Aoi. Menepuk pundak Kai pelan. Ia pun duduk di bangku tepat di samping Kai.
“jangan mengajakku bicara dulu~” jawab Kai lirih. Setelah menggantungkan tasnya di samping meja, ia membenamkan wajahnya di atas meja.
“kau di apakan sama ketua kelas kita itu?” Tanya Aoi sembari menunjuk ke arah Nao yang sedang bercanda dengan Hiroto.
“bukan urusan mu” Kai menjawab dengan ketus
“apa ia menyatakan perasaannya??”
BRAK!
“aduuu~h”
Bunyi keras tadi mengundang perhatian seluruh kelas—termasuk Hiroto dan Nao—untuk memandangi Kai yang sedang mengusap dahinya.
“kau baik-baik saja, Kai?” Aoi yang cemas melongokkan kepalanya untuk melihat wajah Kai. Antara kaget dan bingung karena tiba-tiba saja dahi Kai membentur meja dengan sangat keras. Kai tidak menjawab apapun. Ia hanya meringis bersamaan dengan mengacungkan jempolnya, lalu hal itu membuat perhatian kelas tidak terpusat padanya dan Aoi lagi.
“aduuh.. sialan kau Aoi..” umpat Kai kesal. “apa maksudmu, hah?!” Kai bertanya dengan tatapan mata yang tajam namun setengah berbisik.
“memangnya kau tidak tahu bahwa Nao itu menyukai mu??” Lagi-lagi, entah efek dahinya yang terbentur atau bukan, Kai merasa pusing. Nao menyukainya? Nao menyukainya? “jadi benar ya kau tidak tahu?” Tanya Aoi lagi. Kai menggeleng
“kau tahu darimana tuan sok tahu?” Tanya kai menyelidik. Ia tahu Aoi itu adalah seorang biang gosip
“ck! Jadi kau tidak percaya padaku?” Aoi memajukan bibirnya yang sudah maju tanda kesal. “sudah menjadi rahasia umum kalau ia menyukaimu, bodoh!”
“aduh!” lagi-lagi Kai meringis karena Aoi mecubit hidungnya. “jangan bercanda, Aoi, memangnya dia gay?” jawab Kai lagi dengan memelankan kata ‘gay’ agar tak ada yang mendengar.
“kalau ia menyukai mu, berarti?”
“gay”
“R-Reita?” Kai dan Aoi refleks menoleh ke belakang—tepatnya ke arah Reita—yang tiba-tiba saja ikut dalam percakapan mereka berdua.
“yang Aoi katakan memang benar kok, Kai” Reita duduk di belakang Kai. Kai menatap pria bernoseband itu dengan tatapan aneh. “aku kan sepupu Nao, ia sering bercerita tentangmu”
Untuk beberapa saat, lelaki berlesung pipi itu mengerutkan dahinya. Melirik sedikit ke arah Nao, ia memergoki ketua kelasnya itu sedang memandanginya. Kai yang masih shock—karena ucapan Aoi tadi— tanpa sadar membuang mukanya. Entah mengapa dadanya berdebar. Ya Tuhan..
“benar kan?” melihat perubahan wajah Kai yang mendadak merah, Reita dan Aoi bertanya dengan serempak. Kai memilih untuk bungkam. “ternyata ia belum menyatakan perasaannya.” Tambah Aoi
“Nao memang pemalu sejak kecil” Reita mengangguk tanda setuju dengan apa yang baru saja Aoi katakan.
“ahh! aku bukan gay!” lagi-lagi Kai mengelak. Aoi dan Reita—yang mengetahui tentang kelainan dirinya—itu terkekeh kecil.
“tidak jujur kau, Kai”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
“pukul tujuh”
Kai bergumam sendiri sembari melihat ke arah jam dinding berwarna hijau melonnya itu. Matanya sibuk mengikuti arah detik jam yang tak kunjung mati. Sesekali Kai menghela nafas, seperti sudah menjadi bagian dari rutinitasnya saat ini. Kai masih memikirkan kata-kata Nao tadi pagi. Konser akan dimulai 1 jam lagi. Wajahnya mendadak merah mengingat Miyavi. Pria yang ia kagumi. Empat tahun, ah— tidak. Hampir lima tahun ia mengagumi Miyavi. Setiap melihat pujaannya itu, Kai selalu merasakan ada yang lain terhadap dirinya.
“aku ingin pergi…” ucapnya lirih
“ashita anata no, kimochi ga hanaretemo, kitto kawarazu ni aishiteru..”
Dering ponsel Kai membuatnya tersentak dan kembali ke alam sadarnya. Meraih ponsel dari atas meja kecil di samping kasur, matanya membulat melihat nama yang terpampang di layar ponsel.
“moshi-moshi” jawab Kai agak malas.
“kau mau menonton Miyavi-sama kan?”
“eh?” kata-kata lelaki yang meneleponnya itu membuat Kai mau tak mau mengerutkan dahinya. “tidak di ijinkan.”
“aku sudah bicara dengan Uruha, ia akhirnya memperbolehkanmu pergi jika denganku.”
Seperti menang lotre, rasanya ia ingin berteriak senang karena Uruha mengijinkannya. Ia tak peduli bagaimana caranya Nao meyakinkan Uru. Mengingat Uruha begitu membenci dirinya jika sudah berhubungan dengan Miyavi. Tapi, sedetik kemudian senyum Kai sirna. Ia ingat ia belum membeli tiket. Dan ia yakin, jika ia membelinya sekarang, pasti akan kehabisan. Penggemar Miyavi begitu banyak.
“maaf, aku tidak dapat ikut denganmu, aku tidak punya tiket dan tidak punya uang—”
“kau cukup datang saja, aku sudah memesan tempat di deretan paling depan. Tidak masalah kan harus berdiri selama beberapa jam? ”
Tuhan. Mengapa kalimat yang Nao lontarkan selalu dapat membuat Kai lemas? Setelah berbicara selama tiga sampai empat menit, Kai memutuskan telepon dari Nao dan berlari ke arah lemari baju. Mencari baju yang sekiranya pantas untuk dipakai dalam konser idolanya itu.
Selang beberapa menit, Kai akhirnya tersenyum puas sembari memerhatikan dirinya di depan cermin. Kemeja putih dan vest hitam, celana jeans hitam pekat, serta sepatu boots yang elegan menemani penampilannya malam ini. Ia kemudian mengambil handphonenya, dan tersenyum tipis melihat foto Miyavi yang tergantung di strapnya.
“tunggu aku disana..”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Aku melihatnya
Ia berdiri dihadapanku
Memandang ke segala penjuru lautan manusia disana
Senyumnya manis
Dapat kurasakan dadaku berdebar.
Aku menangis lagi karenanya.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Suara kicau burung terdengar lembut menghiasi pagi hari. Sosok lelaki manis yang masih tertidur itu menggeliat tak karuan. Peluh mengalir membasahi dahinya. Dahinya berkerut. Berkali ia menggumamkan kata-kata yang tidak begitu jelas.
“uwaaaaaaaaaaa!!!!!”
Dan satu teriakkan itu berhasil membuatnya terbangun dari mimpi buruknya. Ia melihat sosok pria cantik, yang menggenggam semangkuk air dingin tengah menatapnya dengan tatapan bingung.
“apakah tingkat kegilaanmu sudah parah, Kai?” pria cantik itu menggeleng-geleng pelan sembari berdecak
“Uru! Kau menyiramku dengan air dingin itu ya?!” Kai menunjuk-nunjuk mangkuk yang Uruha bawa sembari menggigil.
“habis kau meracau tak jelas sembari menyebutkan nama Mi—”
“stooooooooooooop!!” Kai segera berteriak panjang. “aku mengerti. Jangan di teruskan!” wajah Kai memerah. Uruha yang tadinya kesal menjadi tertawa dibuatnya.
“sarapan sudah siap.” Uru masih tertawa dan berjalan mendekati pintu kamar, hendak pergi. Kai menunduk dan terkekeh kecil ‘pasti efek semalam’ batin Kai. Ia mengingat mimpi buruknya tadi. Ia melihat Miyavi, begitu tmpan, begitu bahagia.
Tidak seperti biasanya, pagi ini Kai memilih untuk duduk di tepi tempat tidur lebih dulu, menerawang ke arah jendela. Mengingat bagaimana riuhnya acara semalam. Matanya masih terasa berat. Bagaimana tidak? Nao mengantarnya pulang pukul 12 tepat. Mau tak mau, ia tiba di rumah pukul 12.30 pagi. Dan kini terbangun pukul 7 pagi. Dimana burungpun masih enggan untuk berkicau dengan riangnya. Menguap lebar-lebar, Kai melirik kembali ke arah bantalnya yang menggoda. Kai mulai mendekatkan kepalanya ke bantal. Sebentar lagi, sebentar lagi, dan—
“TURUN SEBELUM KU SIRAM!!!”
.
.
.
.
Kai yang masih mengantuk menguap lebar-lebar. Ia mengusap-usap matanya. Dengan wajah kusut dan bibir yang ia majukan tanda kesal dengan Uruha, Kai tanpa sepatah katapun mengambil jus apel yang tersaji di atas meja. Meminumnya hingga habis, Kai kini beralih ke kakinya, membungkus kaki yang berwarna putih itu dengan kaus kaki dan sepatu.
“sandwich mayo mu?” Uruha menyembulkan kepalanya dari dapur.
“tidak selera, aku pergi ya” Kai melambaikan tangan dan berlalu begitu saja. Uruha pun hanya dapat menghela nafas melihat kelakuan adiknya itu.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
“yo~ Kai!!” Aoi menepuk kencang-kencang pundak Kai, yang membuat lelaki penyuka sepak bola itu terkaget dari tidur indahnya di kelas. “tak biasanya kau tidur di pagi hari. Sehati tuh dengan Nao, sejak tadi ia hanya menguap saja” Aoi menggoda Kai, berharap sahabatnya itu mengoceh panjang lebar karena kesal. Namun, nihil. Kai hanya melihat wajah Aoi sekilas dan tertidur lagi.
“mereka habis menonton konser Miyavi, semalam” Reita berbisik di telinga Aoi. Meskipun agak kaget karena tiba-tiba saja Reita berbisik, Aoi mengangguk mengerti “tapi—” Aoi mengikuti Reita berjalan ke bangkunya. Mata Aoi melihat perubahan air muka Reita yang terlihat begitu serius kini menjadi lebih serius. “bacalah”
“hm?” Aoi menggumam kecil melihat majalah musik yang Reita berikan padanya. Sedetik kemudian matanya membesar karena kaget. “USO!!”
“ssst!!” Reita memukul kepala Aoi karena tiba-tiba saja ia berteriak “bacalah tanggalnya.”
“te—tepat dua hari sebelum konser kemarin malam” Aoi mengerutkan dahi
“wartawan memang lambat..” Reita berdecak
“majalah ini aku yang akan pegang!” jawab Aoi lagi dan segera menutup majalah tersebut
“bagaimana kita mengatakannya?” Reita menghela nafas. Aoi melirik ke arah Kai yang sedang tertidur pulas.
“tidak peduli bagaimana, yang pasti, kita harus menyampaikannya!”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
TBC
saya kok rajin amat ya produksi fic, sekarang? DX
Chapter : 1A
Author : Yuta ‘uke’ Yutaka
Beta : no one
Genre : of course GAJE..
Rating : PG-16
Disclaimer : I own this story. Yeah~ poor me. Just the story line :P
Pairing : read it and you’ll know
Warning : OOC, unbetaed, misstype, GAJE
A/N : I dunno why I wrote this fiction. Hope you like it.
Enjoy~
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
“aku beruntung menyukaimu”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
12 Oktober 20xx Tokyo, Japan.
“TELAT!! TELAT!!”
Suara berisik seorang lelaki yang kini sedang tergesa-gesa turun dari tempat tidur berselimutkan warna hijau rumput yang nyaman mulai menghiasi pagi hari. Dengan cepat ia menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi.
“aduuuh~”
Ia meringis ketika merasakan kakinya tersandung sesuatu. Tanpa memerdulikan benda tadi, lelaki ber-lesung pipi itu mulai mencuci muka dan menggosok giginya. Tak lama, dengan masih menggosok-gosokan handuk ke muka, ia mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu, menggantinya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh anak-anak seumurannya, yang setiap pagi akan diperiksa di depan gerbang.
“Kai~!!” merasa namanya di panggil, ia pun bergegas keluar dengan menjinjing tas serta kaus kaki putihnya. “baru saja aku ingin membangunkanmu” ejek seorang pria berparas cantik sembari meletakkan piring putih di meja makan
“aku akan berterima kasih jika kau memang membangunkanku, Uru..” Kai cemberut dan segera menyambar sandwich mayonya. Uruha terkekeh dan menuangkan susu ke dalam gelas tinggi.
“kau ini sudah besar masih saja seperti bocah” Uruha memukul pelan kepala Kai. Kai meringis
“biar saja” tanpa berlama-lama, sandwichnya telah berada di dalam perutnya, dan tak lupa ia meneguk susu tadi sampai bersi tak tersisa. Memasang kaus kaki dan mengikat sepatunya, Kai berdiri kemudian melambaikan tangan kepada Uruha. “aku pergi” tanpa melihat ke arah Uruha lagi, Kai pun menghilang dari balik pintu
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
“telat~ telat~”
Hanya kata itu saja yang sejak tadi ia gumamkan dari bangun hingga saat ini dimana matanya telah memandang pemandangan yang berbeda. Bukan lagi meja makan dan Uruha, melainkan gedung tinggi, jam besar, serta lapangan yang luas. Kakinya yang tidak sepanjang Uruha, menyulitkannya untuk sampai di kelas dengan kilat. Sepanjang sapuan matanya, Kai tak dapat menemukan sosok murid, maupun guru. Koridor sekolah sudah sepi. Kai yakin ia terlambat jam pelajaran pertama hari ini. Menghentikan langkahnya, ia mencoba mengingat siapakah guru yang akan mengajar pertama. Seperti berhasil mengetahui siapa namanya, Kaipun membalikan badannya dan berlari (lagi) ke atap sekolah.
“sebaiknya aku bolos saja. Byou sensei pasti akan berceramah panjang lebar saat aku masuk” rutuknya dalam hati. Maka ia berlari-lari kecil dengan bersiul.
Pukul Sembilan pagi. Kai melihat arlojinya dan menghela nafas panjang. Bagus! Ia membolos pelajaran matematika. Dengan perasaan bersalah, Kai menengadahkan kepalanya ke langit. Matanya sedikit menyipit karena tak kuat melihat cerahnya langit di atas sana. Gumpalan kapas putih itu menyerupai wajah seseorang yang selalu ada dalam benaknya. Tanpa ia sadari, kini angannya tengah sibuk merogoh saku celananya sendiri, dan seperti telah mendapatkan benda yang ia cari, sebuah bunyi ‘cring’ membuatnya menunduk untuk melihat benda itu.
Strap handphone bertali hitam yang mengaitkan pigura kecil membuat Kai tanpa sadar tersenyum tipis. Foto seseorang yang sudah bertahun-tahun ia kagumi terpajang jelas di dalam pigura berwarna abu-abu metalik itu.
“Miyavi-sama”
Kai menggumamkan nama dari pria yang berada di dalam pigura foto tersebut. Menaruhnya di telapak tangan, dan dengan perlahan ia menggenggam erat benda itu dan menaruhnya di dada.
“berhentilah bersikap seperti orang abnormal seperti itu, Kai”
“apakah mengagumi seseorang itu abnormal bagimu?”
“mengagumi? Menurutku kau lebih dari sekedar mengagumi. Kau mencintainya.”
Kai menggeleng pelan. Kata-kata Uruha membuat hatinya sedikit sakit. Tidak. Tidak sedikit lagi. Bahkan sakit sekali. Mencintai? Uruha seharusnya tahu bahwa ia dan Miyavi bukanlah seorang gay. Dan bukankah itu wajar seseorang seperti Miyavi, ia kagumi? Mengingat Miyavi adalah seorang musisi hebat. Permainan gitarnya yang indah, suaranya yang khas pun sanggup memikat ribuan hati penggemarnya itu. Belum lagi gayanya yang— lagi-lagi Kai menggeleng cepat. Apa yang ia pikirkan tadi?
“Kai?” Terlonjak kaget, Kai segera menyembunyikan strap handphone tadi dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya “kau bolos pelajaran pertama?”
“eh, ah— iya..” jawab Kai terbata ketika matanya melihat Nao yang tengah memandangnya dengan tatapan aneh. Kai yakin lelaki berpipi chubby di sampingnya ini memergoki apa yang sedang ia lakukan. Wajahnya memanas. Rasa-rasanya baru sebentar ia mempunyai waktu untuk sendiri. Tenggelam bersama mimpinya.
“ohh” Nao ber—ooh—panjang dan duduk tepat di samping Kai.
“kau sendiri membolos juga?” Tanya Kai, berusaha untuk mencairkan suasana.
“yap” Nao tersenyum ke arah Kai. “tadi, aku melihat sosok mu yang tengah berlari dari gerbang sekolah dengan tergesa. Kau terlambat lagi?” Nao menoleh. Kai hanya mengangguk. “Lalu setelah beberapa menit, kau tidak menampakan batang hidungmu juga di kelas. Dan aku menyimpulkan bahwa kau membolos.” Kai membulatkan bibirnya. Ceroboh sekali ia membolos. Seharusnya ia tahu bahwa akan ada orang yang melihat sosoknya datang tadi. “tenang saja, sepertinya yang lain ‘tak ada yang menyadari kau datang” dan pria itu pun menghela nafasnya lagi karena lega.
“lalu, kau menyusulku?” Tanya Kai takut-takut
“menurutku, bolos pelajaran Byou sensei sekali-kali memang harus!” Nao mengacungkan jempolnya. Kai hanya tertawa kecil.
Hening.
Setelahnya ‘tak satupun dari Kai mupun Nao yang membuka pembicaraan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kai sendiri sebenarnya tidak menyukai atmosfir ini, namun ia bingung apa yang harus ia bicarakan mengingat Nao mengetahui ‘semuanya’. Ya, pria berkacamata itu entah bagaimana mengetahui ‘semua’ yang Kai sembunyikan. Mengingat ia dan Nao bukanlah teman dekat. Memang lelaki itu adalah teman sepermainan Kai dan Reita (karena reita adalah sepupu Nao) namun, bukan alasan baginya untuk akrab. Nao cenderung sering menutup diri (namun, semenjak SMA ia berubah). Tapi yang membuat Kai harus selalu memeras otaknya untuk berpikir, bagaimana caranya lelaki itu selalu mengetahui segala hal tentang dirinya. Itu membuat Kai berpikir bahwa Nao adalah calon penguntit yang handal.
“nanti malam, Miyavi akan mengadakan live” jantung Kai seolah akan melompat keluar ketika Nao membuka mulutnya dan menyebut nama ‘Miyavi’
“ee— ya, yasudah” Kai gugup “aku tahu itu”
“tidak ingin datang?” Tanya Nao menyelidik
“Uruha tidak akan mengijinkan..” Kai menggeleng cepat. Nao lagi-lagi hanya ber—ooo—panjang “kau datang?”
“tentu. Aku sudah membeli tiket untuk dua orang”
“pasti ingin pergi dengan Saga ya?” celetuk Kai asal.
“yah— sepertinya”
Lalu. Hening kembali. Kai yang mulai merasa tidak enak cepat-cepat berdiri dan mengantongi strap tadi.
“sebaiknya aku kembali ke kelas..” ucap Kai begitu tergesa. Tanpa melihat bagaimana wajah Nao lagi, ia pun pergi begitu saja.
.
.
.
.
“tadi kau membolos ya?” kali ini lelaki ber-rambut hitam legam. Aoi. Menepuk pundak Kai pelan. Ia pun duduk di bangku tepat di samping Kai.
“jangan mengajakku bicara dulu~” jawab Kai lirih. Setelah menggantungkan tasnya di samping meja, ia membenamkan wajahnya di atas meja.
“kau di apakan sama ketua kelas kita itu?” Tanya Aoi sembari menunjuk ke arah Nao yang sedang bercanda dengan Hiroto.
“bukan urusan mu” Kai menjawab dengan ketus
“apa ia menyatakan perasaannya??”
BRAK!
“aduuu~h”
Bunyi keras tadi mengundang perhatian seluruh kelas—termasuk Hiroto dan Nao—untuk memandangi Kai yang sedang mengusap dahinya.
“kau baik-baik saja, Kai?” Aoi yang cemas melongokkan kepalanya untuk melihat wajah Kai. Antara kaget dan bingung karena tiba-tiba saja dahi Kai membentur meja dengan sangat keras. Kai tidak menjawab apapun. Ia hanya meringis bersamaan dengan mengacungkan jempolnya, lalu hal itu membuat perhatian kelas tidak terpusat padanya dan Aoi lagi.
“aduuh.. sialan kau Aoi..” umpat Kai kesal. “apa maksudmu, hah?!” Kai bertanya dengan tatapan mata yang tajam namun setengah berbisik.
“memangnya kau tidak tahu bahwa Nao itu menyukai mu??” Lagi-lagi, entah efek dahinya yang terbentur atau bukan, Kai merasa pusing. Nao menyukainya? Nao menyukainya? “jadi benar ya kau tidak tahu?” Tanya Aoi lagi. Kai menggeleng
“kau tahu darimana tuan sok tahu?” Tanya kai menyelidik. Ia tahu Aoi itu adalah seorang biang gosip
“ck! Jadi kau tidak percaya padaku?” Aoi memajukan bibirnya yang sudah maju tanda kesal. “sudah menjadi rahasia umum kalau ia menyukaimu, bodoh!”
“aduh!” lagi-lagi Kai meringis karena Aoi mecubit hidungnya. “jangan bercanda, Aoi, memangnya dia gay?” jawab Kai lagi dengan memelankan kata ‘gay’ agar tak ada yang mendengar.
“kalau ia menyukai mu, berarti?”
“gay”
“R-Reita?” Kai dan Aoi refleks menoleh ke belakang—tepatnya ke arah Reita—yang tiba-tiba saja ikut dalam percakapan mereka berdua.
“yang Aoi katakan memang benar kok, Kai” Reita duduk di belakang Kai. Kai menatap pria bernoseband itu dengan tatapan aneh. “aku kan sepupu Nao, ia sering bercerita tentangmu”
Untuk beberapa saat, lelaki berlesung pipi itu mengerutkan dahinya. Melirik sedikit ke arah Nao, ia memergoki ketua kelasnya itu sedang memandanginya. Kai yang masih shock—karena ucapan Aoi tadi— tanpa sadar membuang mukanya. Entah mengapa dadanya berdebar. Ya Tuhan..
“benar kan?” melihat perubahan wajah Kai yang mendadak merah, Reita dan Aoi bertanya dengan serempak. Kai memilih untuk bungkam. “ternyata ia belum menyatakan perasaannya.” Tambah Aoi
“Nao memang pemalu sejak kecil” Reita mengangguk tanda setuju dengan apa yang baru saja Aoi katakan.
“ahh! aku bukan gay!” lagi-lagi Kai mengelak. Aoi dan Reita—yang mengetahui tentang kelainan dirinya—itu terkekeh kecil.
“tidak jujur kau, Kai”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
“pukul tujuh”
Kai bergumam sendiri sembari melihat ke arah jam dinding berwarna hijau melonnya itu. Matanya sibuk mengikuti arah detik jam yang tak kunjung mati. Sesekali Kai menghela nafas, seperti sudah menjadi bagian dari rutinitasnya saat ini. Kai masih memikirkan kata-kata Nao tadi pagi. Konser akan dimulai 1 jam lagi. Wajahnya mendadak merah mengingat Miyavi. Pria yang ia kagumi. Empat tahun, ah— tidak. Hampir lima tahun ia mengagumi Miyavi. Setiap melihat pujaannya itu, Kai selalu merasakan ada yang lain terhadap dirinya.
“aku ingin pergi…” ucapnya lirih
“ashita anata no, kimochi ga hanaretemo, kitto kawarazu ni aishiteru..”
Dering ponsel Kai membuatnya tersentak dan kembali ke alam sadarnya. Meraih ponsel dari atas meja kecil di samping kasur, matanya membulat melihat nama yang terpampang di layar ponsel.
“moshi-moshi” jawab Kai agak malas.
“kau mau menonton Miyavi-sama kan?”
“eh?” kata-kata lelaki yang meneleponnya itu membuat Kai mau tak mau mengerutkan dahinya. “tidak di ijinkan.”
“aku sudah bicara dengan Uruha, ia akhirnya memperbolehkanmu pergi jika denganku.”
Seperti menang lotre, rasanya ia ingin berteriak senang karena Uruha mengijinkannya. Ia tak peduli bagaimana caranya Nao meyakinkan Uru. Mengingat Uruha begitu membenci dirinya jika sudah berhubungan dengan Miyavi. Tapi, sedetik kemudian senyum Kai sirna. Ia ingat ia belum membeli tiket. Dan ia yakin, jika ia membelinya sekarang, pasti akan kehabisan. Penggemar Miyavi begitu banyak.
“maaf, aku tidak dapat ikut denganmu, aku tidak punya tiket dan tidak punya uang—”
“kau cukup datang saja, aku sudah memesan tempat di deretan paling depan. Tidak masalah kan harus berdiri selama beberapa jam? ”
Tuhan. Mengapa kalimat yang Nao lontarkan selalu dapat membuat Kai lemas? Setelah berbicara selama tiga sampai empat menit, Kai memutuskan telepon dari Nao dan berlari ke arah lemari baju. Mencari baju yang sekiranya pantas untuk dipakai dalam konser idolanya itu.
Selang beberapa menit, Kai akhirnya tersenyum puas sembari memerhatikan dirinya di depan cermin. Kemeja putih dan vest hitam, celana jeans hitam pekat, serta sepatu boots yang elegan menemani penampilannya malam ini. Ia kemudian mengambil handphonenya, dan tersenyum tipis melihat foto Miyavi yang tergantung di strapnya.
“tunggu aku disana..”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Aku melihatnya
Ia berdiri dihadapanku
Memandang ke segala penjuru lautan manusia disana
Senyumnya manis
Dapat kurasakan dadaku berdebar.
Aku menangis lagi karenanya.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
Suara kicau burung terdengar lembut menghiasi pagi hari. Sosok lelaki manis yang masih tertidur itu menggeliat tak karuan. Peluh mengalir membasahi dahinya. Dahinya berkerut. Berkali ia menggumamkan kata-kata yang tidak begitu jelas.
“uwaaaaaaaaaaa!!!!!”
Dan satu teriakkan itu berhasil membuatnya terbangun dari mimpi buruknya. Ia melihat sosok pria cantik, yang menggenggam semangkuk air dingin tengah menatapnya dengan tatapan bingung.
“apakah tingkat kegilaanmu sudah parah, Kai?” pria cantik itu menggeleng-geleng pelan sembari berdecak
“Uru! Kau menyiramku dengan air dingin itu ya?!” Kai menunjuk-nunjuk mangkuk yang Uruha bawa sembari menggigil.
“habis kau meracau tak jelas sembari menyebutkan nama Mi—”
“stooooooooooooop!!” Kai segera berteriak panjang. “aku mengerti. Jangan di teruskan!” wajah Kai memerah. Uruha yang tadinya kesal menjadi tertawa dibuatnya.
“sarapan sudah siap.” Uru masih tertawa dan berjalan mendekati pintu kamar, hendak pergi. Kai menunduk dan terkekeh kecil ‘pasti efek semalam’ batin Kai. Ia mengingat mimpi buruknya tadi. Ia melihat Miyavi, begitu tmpan, begitu bahagia.
Tidak seperti biasanya, pagi ini Kai memilih untuk duduk di tepi tempat tidur lebih dulu, menerawang ke arah jendela. Mengingat bagaimana riuhnya acara semalam. Matanya masih terasa berat. Bagaimana tidak? Nao mengantarnya pulang pukul 12 tepat. Mau tak mau, ia tiba di rumah pukul 12.30 pagi. Dan kini terbangun pukul 7 pagi. Dimana burungpun masih enggan untuk berkicau dengan riangnya. Menguap lebar-lebar, Kai melirik kembali ke arah bantalnya yang menggoda. Kai mulai mendekatkan kepalanya ke bantal. Sebentar lagi, sebentar lagi, dan—
“TURUN SEBELUM KU SIRAM!!!”
.
.
.
.
Kai yang masih mengantuk menguap lebar-lebar. Ia mengusap-usap matanya. Dengan wajah kusut dan bibir yang ia majukan tanda kesal dengan Uruha, Kai tanpa sepatah katapun mengambil jus apel yang tersaji di atas meja. Meminumnya hingga habis, Kai kini beralih ke kakinya, membungkus kaki yang berwarna putih itu dengan kaus kaki dan sepatu.
“sandwich mayo mu?” Uruha menyembulkan kepalanya dari dapur.
“tidak selera, aku pergi ya” Kai melambaikan tangan dan berlalu begitu saja. Uruha pun hanya dapat menghela nafas melihat kelakuan adiknya itu.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
“yo~ Kai!!” Aoi menepuk kencang-kencang pundak Kai, yang membuat lelaki penyuka sepak bola itu terkaget dari tidur indahnya di kelas. “tak biasanya kau tidur di pagi hari. Sehati tuh dengan Nao, sejak tadi ia hanya menguap saja” Aoi menggoda Kai, berharap sahabatnya itu mengoceh panjang lebar karena kesal. Namun, nihil. Kai hanya melihat wajah Aoi sekilas dan tertidur lagi.
“mereka habis menonton konser Miyavi, semalam” Reita berbisik di telinga Aoi. Meskipun agak kaget karena tiba-tiba saja Reita berbisik, Aoi mengangguk mengerti “tapi—” Aoi mengikuti Reita berjalan ke bangkunya. Mata Aoi melihat perubahan air muka Reita yang terlihat begitu serius kini menjadi lebih serius. “bacalah”
“hm?” Aoi menggumam kecil melihat majalah musik yang Reita berikan padanya. Sedetik kemudian matanya membesar karena kaget. “USO!!”
“ssst!!” Reita memukul kepala Aoi karena tiba-tiba saja ia berteriak “bacalah tanggalnya.”
“te—tepat dua hari sebelum konser kemarin malam” Aoi mengerutkan dahi
“wartawan memang lambat..” Reita berdecak
“majalah ini aku yang akan pegang!” jawab Aoi lagi dan segera menutup majalah tersebut
“bagaimana kita mengatakannya?” Reita menghela nafas. Aoi melirik ke arah Kai yang sedang tertidur pulas.
“tidak peduli bagaimana, yang pasti, kita harus menyampaikannya!”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■
TBC
saya kok rajin amat ya produksi fic, sekarang? DX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar