Minggu, 28 November 2010

Fic -Yume- Oneshoot (Yuri non smut)

Title : Yume

Chapter : Oneshoot

Author : Yuta ‘uke’ Yutaka

Beta : no one

Genre : of course GAJE..

Rating : PG-16

Disclaimer : I own this story. Yeah~ poor me. Just the story line :P

Pairing : RioxHime , HimexRio

Warning : OOC, unbetaed, misstype, GAJE

A/N : I dunno why I wrote this fiction. Hope you like it


Enjoy~

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


Jika kau pergi,

Bagaimana dengan mimpimu?

Jika kau tak kembali,

Siapa penyemangatku?

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

"oh.. jadi begitu saja yang kau harapkan?" terlihat seorang wanita berkulit putih susu tengah menghisap rokoknya dalam.

"ya" sedang gadis yang satunya hanya tersenyum miris. Rambut coklat itu melambai menyapa semilir angin yang datang dan pergi.

"saat kau bertemu dengannya, aku yakin kau akan menangis" gadis berambut coklat itu terdiam saat bibir tipis milik seseorang di hadapannya mengucapkan kalimat yang membuatnya bungkam. 'menangis'?

"aku sudah lupa cara menangis"

"kalau kau lupa, tak akan ada perasaan atas mimpimu itu"

"lalu? Apakah jika saat mimpi terpenuhi air mata adalah sesuatu yang wajib?" tanyanya lagi. Kedua jari milik wanita yang berkulit putih itu menyingkirkan rokok dari bibir merah jambunya. Mata kecoklatan miliknya menatap datar ke arah sahabatnya yang bertanya tadi.

"tergantung.."

"maksud mu?"

"tergantung bagaimana seseorang menyikapi saat dan setelah mimpi itu tercapai" ia melihat cahaya di kedua bola mata sahabatnya itu semakin meredup. "jika ini tentang mu, aku amat yakin kau akan menangis setelahnya.."

"oh begitu.."

"kau memandang wajahnya saja sudah hancur berantakan. Bagaimana saat bertemu?" rokoknya ia matikan. Dan bibir tipis itu menyunggingkan senyuman simpul. Sedang yang satunya hanya tertawa renyah

"haruskah aku mati saat itu?" tanyanya sembari memainkan ujung rambut. "jika iya aku akan mati, maka aku—"

"akan rela? Akan ikhlas?" potongnya. Gadis tadi menghentikan aktivitas memainkan rambut dan beralih menatap wajahnya dengan tatapan sebal "sudah berapa lama aku mengenal mu? Aku sudah hapal dengan kalimat itu." ejeknya.

"ahaha.. sial"

"bertemu dengannya adalah hal yang amat ku impikan~ itu mimpi ku"

"HEI!!! Itu bagian ku!" gerutunya

"ahaha, kau tak berubah ya, Rio"

"memangnya aku ini apa? Bisa berubah seenaknya" Rio menjulurkan lidahnya. Pipinya memancarkan semburat merah yang menandakan ia malu. "kau menyebalkan, Hime"

"hmm??"

"kau selalu tak perduli, tapi kata-kata mu itu setiap kali menusuk ku"

"menusuk? Kau saja yang sensitif."

"dasar nona cuek"

"itu aku" setelahnya kedua gadis tadi tertawa bersamaan. Terlihat jelas kekosongan terpancar pada sorot mata Rio. Hime mengetahui hal itu. Apa yang sebenarnya sahabatnya itu rasakan. "Rio.."

"hmm?" Rio hanya sibuk ber-hmm-ria saat Hime memanggilnya.

"berjanjilah padaku kau akan berusaha" Rio melirik ke arah Hime.

"untuk?"

"mencapai semuanya" ucap Hime pelan. Rio mengerutkan dahi

"maksud mu? Aku tak mengerti.."

"yah.. Jangan pernah menyerah sebelum kau mencobanya. Keajaiban itu ada" Hime menggaruk pipinya yang tak gatal. Rio tersenyum. Hime tahu itu senyum yang sangat di paksakan.

"keajaiban tak akan datang padaku" ujar Rio sepelan mungkin agar gadis yang sangat ia sayangi tak mendengarnya.

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

Hime's POV

langit mulai menangis saat aku menengadahkan kepala ku. Berusaha mencari seberkas cahaya keajaiban disana. Namun nihil. Aku yakin tak akan ada lagi keajaiban.

"Rio.."

bibirku yang mulai membiru memanggil namanya. Mencoba meyakinkan diriku bahwa Rio akan menjawab 'ya' saat ku panggil. Mata ku menatap nanar ke arah batu nisan yang telah basah. Seperti tubuh ku ini.

"Rio.."

sekali lagi ku lafalkan namanya dengan begitu pelan. Tanpa tersadar aku sudah kembali menangis. Menangis dalam kebisuan.

‘Rio Matsuzaki, 18 Oktober 20xx’

nama itu terpampang jelas disana. Bukankah seharusnya aku tahu memanggilnya adalah hal terbodoh? Saat aku tahu pemilik nama terindah itu tak akan hadir kembali di hadapanku.

"Rio.. Rio.. Rio!!"

aku kembali menggaduh tak berarti. Inginnya aku memeluk tubuh mungilnya itu. Inginnya aku merasakan kehangatannya. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin melihat tawanya. Menghapus air matanya yang selalu tumpah. Rio. Gadis yang sangat berarti bagiku telah pergi. Meninggalkan mimpi-mimpi yang bahkan sama sekali belum pernah ia sentuh. Aku tahu ia berusaha menutupi segalanya. Saat hatinya berteriak pilu agar ia terbebas dari mimpi bodohnya.

"RIO KAU BODOH!!"

Aku ambruk. Berlutut di depan batu nisannya. Ku sentuh batu yang menandakan ini rumah abadi Rio. Dingin. Sedingin tetesan air mata langit yang masih setia menemani.

Mengapa Tuhan tidak adil? Rio. Mengapa kau pergi begitu saja?

"HIME AWAS!!!"

aku menutup telinga ku. Teriakan Rio hari itu masih terdengar jelas sampai detik ini. Aku mengutuk diriku yang bodoh. Yang lemah. Jika Rio tidak mendorongku, mungkin, yang saat ini sedang berlutut adalah dirinya. Bukan aku. Rio. Rio. Maafkan aku.

Tuhan, mengapa kau mengambilnya secepat ini? mengapa kau ambil dirinya sebelum ia mencapai mimpinya itu? Apakah ini karma bagiku yang telah membohonginya? Tuhan, aku tahu kau mengetahui segalanya. Aku tahu kau tahu jika aku adalah kekasih dari orang yang amat sangat Rio cintai. Dan ketika aku ingin memberi harapan itu padanya, kau merebutnya dariku.

Aku memang salah, aku membohonginya. Aku sudah menjalin kasih dengan seseorang yang sangat Rio kagumi, yang ia cintai, yang sosoknya adalah penyemangat hidupnya, yang setiap detik namanya selalu Rio ingat. Ya. Pria itu benar-benar berarti bagi Rio. Pria itu adalah nafasnya. Mimpinya. Ia mencintai priaku itu lebih dari sekedar idola. Perasaannya lebih dari seorang fans belaka. Yang nyatanya, idolanya itu adalah kekasihku.

Aku memeluk lututku sendiri. Beginikah perasaan dari seseorang yang amat sangat menyesal? Rio, aku harus memberitahumu sesuatu. Minggu depan kami akan menikah. Aku dan nafasmu ini. kami akan menikah. Apakah Tuhan begitu menyayangimu? Hiingga ia tak ingin kau terpuruk lebih dalam? Tuhan tahu aku akan mengundangmu datang. Maka dari itukah Tuhan memutuskan untuk mengambilmu dari sisiku?

Rio, apa kau tahu? Jika saja kau tidak mencintainya. Jika saja kau sepertiku, aku akan menyatakan perasaanku padamu. Aku sesungguhnya lebih mencintaimu, Rio. Aku taku kau akan memandangku jijik jika kau tahu aku penyuka sesama jenis. Mengapa aku ‘tak terlahir sebagai seorang pria? Mengapa aku harus terlahir menjadi seorang gadis? Aku kan tidak leluasa menjagamu. Rio ku. Rio ku.

“Rio..”

Aku semakin mengigil. Mataku mulai memberat. Nafasku terputus-putus. Sayup-sayup ku dengar suara teriakan pria yang amat familiar.

“HIME!!!!!!!”

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

Author’s POV

Waktu berjalan dengan begitu cepat. Seminggu seperti sehari. Terlihat jelas sosok seorang wanita yang duduk membelakangi cermin. Wanita itu mengenakan gaun putih panjang dengan sarung tangan putih se-siku. Kulit putih bersihnya semakin terang berbalutkan gaun putih. Wajahnya yang sehari-hari tidak pernah disentuh oleh make up kini berubah. Make up pengantin mempercantik dirinya.

Ya. Hime akan menikah hari ini. tepat seminggu setelah Rio pergi. Hime berusaha menahan tangisnya yang selalu ingin tumpah jika mengingat tentang Rio. Sahabat yang sangat berharga.

“Hime, kau sudah siap?”

Seorang wanita lain berwajah keibuan masuk ke dalam dan menuntun Hime untuk berjalan. Wanita itu menyuruh seseorang—tepatnya pelayan—yang sudah ia pesan untuk memegangi gaun Hime yang panjang dan megar. Hime berjalan pelan. Ia menghela nafas berkali-kali. Perasaan bersalah itu masih ada di hatinya. Ia bersalah kepada Rio.

Pintu gereja di buka. Seluruh tamu berdiri dengan seirama. Dentang lagu yang mengalun lembut dari tuts tuts piano menyapa telinga Hime. Matanya menyapu seluruh hadirin disana. Langkahnya terhenti. Jantungnya seperti enggan berdetak. Matanya menangkap sosok wanita yang membuatnya dihantui perasaan bersalah. Rio. Ia melihat sosok Rio. Apa Rio datang untuk melukai perasaannya sendiri? Apa Rio datang untuk membencinya?

Hime benar-benar terhenti. Ia memandang wajah Rio yang pucat. Wanita itu tersenyum ke arahnya. Senyumnya amat sangat manis. Begitu lega. Seperti ‘tak ada beban. Merasakan tangannya di tarik paksa, Hime tersadar dari lamunannya. Ia melihat ibunya berbisik kesal yang intinya adalah ia harus segera ke altar dimana calon suaminya menunggu. Hime melirik ke tempat dimana Rio tadi berdiri. Sekali lagi, Hime membelalakkan matanya. Rio pergi.

“kau cantik sekali, Hime” Pria disampingnya ini berbisik sembari tersenyum. Hime hanya menjawab ‘terima kasih’ lalu tenggelam dalam pikirannya lagi. “hei, tadi ada seorang wanita datang padaku, ia mengaku sahabat baikmu”

Hime yang mendengar hal itu segera menoleh ke arah calon suaminya.

“siapa?”

“namanya Rio, ia mengatakan ia fans beratku. Lalu ia juga mengatakan ia mencintaimu, ia mengucapkan selamat atas pernikahan kita— apa ia Yu—”

“DIMANA KAU BERTEMU DENGANNYA?!?!” Tiba-tiba saja Hime berteriak. Pastur, tamu, dan pria itu terkaget dengan tingkah Hime barusan. “KATAKAN!!” Hime mengguncang-guncang tubuh calon suaminya.

“t-tadi, di depan gereja— AH!! HIME!!”

Pria itu terkejut saat Hime berlari meninggalkan altar. Hime berlari, tanpa memerdulikan teriakan ibu dan calon suaminya. Ia membuka pintu gereja. Matanya menyapu seluruh halaman gereja yang hijau. Nihil. Rio ‘tak ada disana.

“RIO!!!!!!!”

Hime berteriak frustasi dan berlari ke tempat tujuan yang terlintas di benaknya. Jalan ‘Eternal’, tempat dimana Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

“HIME TUNGGU!!”

Pria itu masih saja mengikuti Hime yang berlari mengenakan gaun pengantinnya. Wanita itu berlari tanpa memerdulikan sekelilingnya. Ia menghentikan langkahnya di tepi jalan. Ia melihat seseorang yang ia cari. Rio

“RIO!!”

Hime berlari menyebrangi jalan. Ia melihat Rio begitu menyambutnya dengan senang.

“HIME AWAS!!!”

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

“nggh—”

“kau sudah sadar?” wanita bergaun putih bersih itu membuka matanya. ia melihat sekeliling. Hampir saja ia berteriak saat melihat pemandangan indah di hadapannya. Sungai yang wangi, airnya begitu jernih. Rumput yang begitu hijau. Langit biru yang indah. “selamat datang di rumahku yang baru, Hime”

“RIO!!” Hime memekik dan memeluk Rio dengan erat. Ia menangis lagi. “Rio, maafkan aku! Maafkan aku!” Hime menangis dengan begitu histeris. Rio tersenyum dan menggeleng.

“tidak apa-apa, Hime. Kau sudah disini bersama ku. kita akan hidup bahagia disini..” Rio melepaskan pelukannya. Menatap wajah Hime dan menghapus air matanya “jadi ada yang ingin kau katakan?” Rio terkekeh kecil.

Hime mendekatkan wajahnya. Merasakan hangatnya nafas Rio yang ia rindukan.

“aku mencintaimu, Rio”

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

Dan disinilah kita,

Dalam kehidupan yang abadi.

Cinta kita,

Kekal selamanya

‘Rio Matsuzaki, 18 Oktober 20xx’

‘Hime Yukari, 25 Oktober 20xx’

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

OWARI

A/N: HWAAAAAAAAAAAA geblek!!! Ini cerita ke-5 yang saya selesaikan dalam sehari ini!! wkwkwkwk

Okai, saya hanya men-tag dua orang (karena dia minta) disini, yang baca diam-diam, komen ya. ><

Sankyu~!!! #tepar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar