Title : Eien no Ai
Chapter : 1B
Author : Yuta ‘uke’ Yutaka
Beta : no one
Genre : of course GAJE..
Rating : PG-16
Disclaimer : I own this story. Yeah~ poor me. Just the story line :P
Pairing : read it and you’ll know
Warning : OOC, unbetaed, misstype, GAJE
A/N : I dunno why I wrote this fiction. Hope you like it.
Enjoy~
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
Kai memandang nanar ke arah langit-langit kamarnya. Teriakan Uruha ia abaikan begitu saja. Kini ia sangat yakin Uruha bingung melihat dirinya yang berlari ke kamar dengan tergesa. Kai menatap kosong langit-langit kamarnya yang dingin. Mengigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha untuk tidak menangis.
“bacalah”
“apa ini?”
“baca saja dan kau akan tahu.,"
Kalimat yang Aoi katakan tadi pagi membuat seluruh konsentrasinya lenyap tanpa bekas. Pupil matanya membesar saat memnyapu tiap kata demi kata yang majalah itu untai. Nafasnya tercekat. Foto seseorang yang sangat ia kenal, begitu bahagia bersanding dengan seorang gadis yang cantik berbalutkan gaun putih bersih. Wajah keduanya tampak bahagia. Tersenyum dan tertawa dengan riangnya. Begitu serasi. Persis seperti yang ia lihat di mimpinya.
“ugh~!!”
Kai meremas rambutnya sendiri. Tertunduk sembari menutup matanya erat. Berusaha menghapus seluruh bayang-bayang foto gadis dan sosok yang ia kagumi itu.
“ayolah, Kai”
Menyemangati dirinya sendiri, ia mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Tanpa ia sadari dirinya telah menangis pilu. Menangis karena seorang lelaki. Lelaki yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
“sedikit lebih baik?”
Aoi mengelus pundak Kai. Sedang Reita bertopang dagu dan memerhatikan wajah Kai yang berantakan tersebut. Ketiga lelaki itu kini tengah berada di UKS. Kejadian 1 jam lalu, dimana Kai pingsan mendadak di saat Ruki sensei, menyuruhnya menerjemahkan teks bahasa inggris di buku paket sembari berdiri di tempatnya, membuat kedua sahabatnya, Nao, dan seluruh orang yang berada di ruang kelas itu panik mendadak. Aoi yang memang duduk di samping Kai dengan sigap mengangkat dan membawa Kai ke UKS. Sedang Reita, ia yang duduk di bangku belakang tidak kalah cepatnya dengan Aoi. Duduk di bangku belakang emang tidak membuat gerakannya terhambat, ia segera berlari keluar kelas setelah meminta ijin dari Ruki sensei.
Kai masih terdiam dalam duduknya. Reita mengambil gelas putih yang sudah tak berisi dari tangan Kai.
“maaf. Tidak seharusnya aku menyuruhmu membaca artikel itu kemarin” Aoi menunduk.
“tidak apa..”
“jangan katakan kau tidak apa-apa.” Reita mulai berbicara. “sejak kau membuka pintu dan duduk di kursimu tadi pagi, aku sudah merasakan ada yang tidak wajar dengan dirimu. Wajahmu berantakan sekali. Matamu sembab. Kau menangis semalaman, kan?” Reita mengguncang bahu Kai. Lelaki yang memang jago bermain drum itu mulai merasakan matanya kembali panas. Tanpa perlu menunggu lama, akhirnya Kai menangis lagi.
“a—aku, maaf—maafkan aku” Kai terisak. Tubuhnya bergetar. Nafasnya terdengar sangat sesak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tetap mengucapkan kata ‘maaf’. “maafkan aku— aku tidak tahu bahwa akan jadi seperti ini—“
“aku yang seharusnya meminta maaf, aku memaksamu untuk membaca artikel itu. Padahal aku tahu, kau mencintainya” Aoi memeluk Kai yang masih menangis. Tidak protes jika air mata Kai membasahi baju seragamnya.
“tidak.. aku tidak mencin—tainya—tidak” Kai masih berusaha berbicara. Ia mendekap Aoi. Pria berwajah tampan itu dapat merasakan bagaimana sahabatnya kembali ‘menjadi’ setelah sekian lama ia tak melihat Kai ‘terjatuh’.
“kau masih saja mengelak! Aku tahu bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya terhadap Miyavi!” Reita sedikit berteriak. Membuat Kai menoleh ke arahnya. “kalau kau tidak mencintainya, tidak mungkin kau seperti ini. Menangis seperti orang bodoh tiap detik. Tiap menit ketika kau mengingatnya!” tangisan Kai semakin menjadi. Aoi mempererat pelukannya.
“yang Reita katakan benar, Kai.” Tambah Aoi “kau tak akan menangis jika tidak mempunyai perasaan khusus kepadanya.”
“aku yakin fans yang lain juga menangis saat tahu Miyavi-sama menikah!!” Kai melepaskan pelukan Aoi dan mulai meninggikan suaranya. “artikel itu mengatakan Miyavi-sama menikah! Tahukah kalian perasaan seorang fans saat idolanya itu menikah?! Terlebih ia menikah karena sang gadis yang telah menjadi istrinya itu hamil!”
Reita dan Aoi menghela nafas. mereka tidak kaget lagi ketika Kai seperti ini. Sudah terbiasa.
“aku tahu. Karena fans yang lain mencintainya juga, maka mereka akan menangis”
“jelas?! Jadi bukan hanya aku saja? Para fangirl itu akan berteriak histeris karena berita itu. Aku yakin!” Kai masih saja mengelak meskipun ia masih tetap menangis.
“mereka menangis karena mencintai Miyavi-sama. Hiroto bukannya juga sepertimu? Mengagumi Miyavi, tapi, apakah Hiroto menangis setiap saat karenanya? Dan menangis semalaman karena berita itu? Tidak.” Reita mulai kesal. Aoi berusaha menahan amarah Reita.
“jadi, kalian ingin mengatakan aku abnormal kan? Karena aku mencintai idolaku? Karena cintaku yang bodoh?!?! karena aku menyukai ia yang sejenis denganku?!” Kai meremas rambutnya sendiri. Antara frustasi dan kesal dengan dirinya. Mengapa ia harus mencintai idolanya? Mencintai seseorang yang berada di depan matanya saja belum tentu ia akan mendapatkannya. “aku abnormal. Aku gila memang! Aku mencintai seseorang yang bahkan tidak mengenalku. Aku—”
Kalimat Kai terhenti saat pintu UKS terbuka. Lelaki berparas imut itu menatap Kai dengan tatapan datar. Kai mengusap air matanya. Berusaha mengontrol dirinya.
“ikut aku..”
Tanpa persetujuan apapun dari Kai, dan kedua temannya itu, Nao segera menarik tangan Kai keluar dari UKS. Membawanya ke koridor dekat perpustakan yang selalu sepi, Nao memojokkan Kai disana. Sedetik kemudian Kai dengan jelas mendengar kalimat yang Nao lontarkan. Kata ‘aku menyukaimu’ mendadak membuat pupil matanya membesar karena kaget dan kepalanya terasa pening. Ia mendorong tubuh Nao dan menunduk
“aku bukan seorang gay!” tiba-tiba saja kata itu yang terlontar dari bibir Kai. Bukan karena lelaki itu tidak mau menerima kenyataan bahwa ia memang penyuka sesama jenis, namun, kenyataannya adalah ia tidak ingin melukai hati Nao karena ia kini sadar, hatinya hanya dapat mencintai Miyavi. Seseorang yang tidak mengenalinya. Seseorang yang tak akan dapat ia raih. Semua karena ucapan kedua temannya tadi.
“terus saja kau menghindar seperti itu” Nao tersenyum. “aku tahu kau begitu mencintai pria itu” Nao mengejek.
“tahu apa kau tentang ku?” mendengar nada bicara Nao yang mengejek, Kai mulai sinis
“tentang kau? Aku tahu semua. Semuanya” Nao menghempaskan tubuh Kai ke dinding lagi. Memojokkannya lagi disana. “bahkan ketika kau menyentuh dirimu sendiri atas kefrustasianmu terhadap Miyavi, baik sebelum maupun sesudah berita itu ada” Nao berbisik, dan tersenyum puas saat melihat wajah Kai yang shock karena kalimatnya tadi. “aku tahu semua, Kai”
“LEPAS!!” Kai mendorong tubuh Nao agar menjauh. Namun, pria berkacamata hitam itu tetap tak bergeming. Kai kesulitan saat Nao semakin menghimpit tubuhnya. Hampir saja Kai berteriak jika Nao tidak mendekapnya saat ini
“aku menyukaimu, Kai” bisiknya tepat di telinga Kai. “aku sangat beruntung menyukai lelaki sepertimu”
“N-Nao—” Kai merasakan wajahnya memanas. Memang ia tak menyukai Nao, namun, siapa yang tidak akan berdebar jika berada di posisinya saat ini?
“aku benar-benar beruntung menyukaimu, meskipun kau menolakku, tapi aku sungguh bersyukur karena aku dapat bernafas lega mengetahui orang yang ku cintai selamanya tidak akan pernah bersatu dengan pria yang ia cintai. Ahh— bahkan orang yang kau cintai itu melihatmu saja tidak”
Seperti di hujam oleh pisau tajam. Kai merasakan hatinya teriris saat Nao mengucapkan apa yang tadi telah ia ucapkan di depan Aoi dan Reita.
“brengsek” Kai mendesis pelan
“aku akan tersenyum puas melihat mu hancur”
“DIAM!!!” Kai semakin memberontak. Ia mendorong tubuh Nao menjauh
“aku senang melihatmu hancur, kumohon, terpuruklah lagi di depan mataku..” gerakan Kai terhenti saat Nao memandangnya. Bukan. Ini bukan tatapan Nao yang merendahkan dirinya. Ini, tatapan mata yang sangat sayu. Tatapan sedih. Kai merasakan bulir Kristal miliknya terjatuh. “terpuruklah lagi Kai. Kau akan mengetahui kenyataan atas perasaan bodoh mu itu—”
“CUKUP!!”
“AHH!!”
Nao meringis dan terjatuh saat Kai memukul pipinya. Kacamata hitamnya terpental. Nao mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
“TIDAK USAH KAU CAMPURI URUSANKU!! KAU BUKAN SIAPA-SIAPA KU!!!” Kai berteriak tanpa kendali. Ia mendekati Nao yang masih terduduk dan menginjak perutnya. Mau tak mau, Nao kembali meringis dan terbatuk ketika Kai menginjak perutnya tanpa ampun. Menendang tubuhnya ‘tak terkendali. Kai lepas kontrol. “TIDAK USAH KAU KATAKAN PUN AKU SUDAH TAHU!!!”
BRAAAK!!
Kai menghempaskan tubuh Nao ke dinding. Kai terengah. Nao meringkuk. Ia tak dapat bergerak karena kini tubuhnya terasa begitu sakit. Nao memandang Kai meskipun bayangan wajah Kai kabur karena ia tak memakai kacamatanya, tapi Nao tahu bahwa lelaki yang memang ia sayangi itu menangis. Ia menangis sembari berdiri di pijakannya.
“Kai..”
“diam”
suara Kai terdengar begitu lirih. Kini ia jatuh terduduk tepat di hadapan Nao. Memeluk lututnya dan menangis dalam diam. “diam.. diam.. DIAM!!!” Nao kembali berteriak kaget saat wajahnya mendapatkan satu tinju yang sangat keras dari Kai. Kai kembali memukulinya. Nao merasakan cairan hangat mengalir dari sudut bibir dan hidungnya.
“Ka—uhuk!”
Belum sempat Nao memanggil nama Kai, lelaki itu sudah mendendang perutnya lagi tanpa belas kasihan. Ia terbatuk. Darah. Ia terbatuk dan mengeluarkan darah. Nyeri di sekujur tubuhnya benar-benar membuat nafas Nao tersengal. Ia tak menyangka Kai akan seperti ini.
“NAO!! KAI!!”
Merasa terselamatkan, dengan susah payah Nao melihat siapa yang datang.
“astaga!”
Itu suara Hiroto.
“Kai!!!”
Kali ini Nao mendengar suara Aoi dan ia merasakan tangan Reita yang membantunya berdiri.
“pelan-pelan Rei..” Hiroto ikut membantu Reita membawa Nao ke UKS, setelah mereka berdua tahu Nao telah kehilangan kesadarannya.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
Dua hari berlalu sejak peristiwa di koridor sekolah. Baik Kai maupun Nao sama sekali tidak ada yang menampakkan batang hidungnya di sekolah.
“sudah dua hari berlalu..” Aoi menghela nafas dan menatap nanar ke arah kursi di sampingnya. Reita mengangguk.
“sebenarnya ada apa?” Hiroto bertanya. Aoi dan Reita saling pandang.
“sulit untuk di jelaskan..” Reita menjawab. Hiroto mengerutkan dahi tanda penasarannya.
“jadi Rei, kenapa Nao tidak masuk sekolah juga?” Tanya Aoi mengalihkan pembicaraan.
“entahlah.. kemarin aku ke rumahnya, dan ibu Nao bilang ia tidak ingin bertemu dengan siapapun..” Reita menggeleng. “bagaimana dengan Kai?”
“nihil. Aku sudah bertemu Uruha dan sama seperti Nao, ia mengisolasikan diri dari dunia luar”
“ahh—” Aoi tersenyum pahit.
“aku tak menyangka Kai akan seperti itu. Maksudku, lihat Nao, ia sampai pingsan saat itu.” Hiroto mengigit telunjuknya.
“aku pun begitu..” Aoi menepuk pundak Hiroto.
“sebaiknya, mau tak mau kita harus ke rumah mereka!” Reita bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi. Aoi dan Hiroto memandangnya dengan tatapan aneh.
“kau sudah mau pergi lagi? Bahkan sekolah pun belum mulai”
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
Kai’s POV
Aku memandang datar ke arah jam dinding ku di depan sana. Pukul 10 tepat. Pelajaran Ruki sensei pasti telah di mulai satu jam yang lalu. Menghela nafas panjang, aku merebahkan diriku lagi di atas kasur. Kutatap dinding kamarku yang terdapat posternya. Aku tersenyum kecut. Ia telah menikah. Sebelum ia menikah saja aku sudah tahu ‘tak ada harapan lagi, bagaimana jika ia sudah menikah? Terlebih istrinya itu telah hamil.
“Kai”
Uruha. Aku cepat-cepat menyembunyikan tubuhku di balik selimut. Berpura-pura tidur lagi.
“Kai?”
Pintu terbuka. Aku semakin menutup mataku erat. Jantungku berdegup. Takut Uruha tahu aku sudah bangun. Aku dapat merasakan Uruha sedang menatapku dan menghela nafas panjang.
“hhhh— Nao, ia masih tertidur.”
N-Nao?
“tidak apa Uruha, bolehkah kau meninggalkanku berdua dengannya?”
Aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi di kamarku. Tapi aku dengar suara pintu ditutup. Aku yakin Uruha sudah pergi dari kamarku. Aku berpura-pura menggeliat kecil, lalu, membalikkan tubuhku membelakangi Nao.
“Kai, maaf” Aku mendengar suaranya yang begitu lirih. Apakah ia menangis? “maafkan aku. Maafkan aku, Kai.. maaf”
Aku membuka mataku. Hatiku sakit mendengarnya meminta maaf seperti itu. Ia menangis sesengukkan. Nafasnya terputus-putus. Tuhan, seharusnya aku yang berada di posisinya, kan?
Memberanikan diri membalik menghadapnya, aku dapat melihat Nao menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia masih menangis. Mengapa melihatnya seperti ini justru membuatku sesak?
Aku bangkit dari tempat tidur, berdiri di depannya. Ia yang menyadari aku telah berada di hadapannya menyingkirkan tangannya dari wajahnya. Sedetik kemudian, mataku dapat melihat lebam di wajahnya dan beberapa luka yang hampir mengering. Aku! Akulah yang membuat lebam-lebam itu!
“berhentilah menangis” entah mengapa nada bicaraku ini menjadi dingin.
“Kai..” ia tak mengubbris permintaanku. Ia semakin menjadi dan terus memanggil namaku.
“cukup!!” teriak ku, dan itu cukup membuat Nao terdiam. Ia menunduk. Sepertinya ‘tak sanggup menatap wajahku.
“bicaraku memang kelewatan. Aku—” entah mengapa Nao menghentikan kalimatnya. Aku merasakan tubuhnya yang hangat memelukku dengan begitu cepat. Ia merengkuhku. Menangis di dadaku. Aku seharusnya mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menolaknya dan mendorong tubuhnya. Namun, di luar dugaan, aku malah membalas pelukannya, aku dapat merasakan sesuatu yang hangat, yang setiap orang miliki, bahkan Miyavi pun pasti memilikinya juga ikut mengalir membasahi pipiku. Aku menangis.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
Author’s POV
Sudah beberapa menit berlalu saat Nao memeluk tubuh Kai. Keduanya masih dalam posisi yang sama. Saling memeluk dan menangis. Nao mempererat pelukannya pada Kai.
“jangan membenciku, Kai..”
Nao terisak. Ia pun merasakan Kai melepaskan pelukannya. Menatapnya dengan wajah yang sembab. Nao yakin Kai menangis setiap waktu. Seharusnya, ia menyemangati Kai ketika ia tahu lelaki yang ia cintai itu sedang ‘terjatuh’. Bukannya mengatakan kalimat hina yang sejujurnya memang ia rasakan terhadap dirinya.
Kai tak bergeming. Ia masih saja di pijakkannya. Air matanya masih mengalir. Namun, ia menangis dalam kebisuan. Seolah suaranya itu telah tersedot habis karena ia sudah menangis berkali-kali.
“sebaiknya kau keluar sebelum aku menyeretmu paksa.”
Kai akhirnya bersuara. Nao sedikit kaget. Seseorang yang ia cintai kini membencinya. Nao melihat Kai merebahkan dirinya di atas kasur, membalikkan tubuh dan memunggunginya. Entah apa yang merasuki Nao, ia mendekat, memeluk Kai secara spontan. Kai tentu saja kaget, dan refleks ia membalik. Saat itu jugalah, Kai merasakan sesuatu yang lembut, dan hangat menyentuh bibirnya. Nao menciumnya.
“aku mencintaimu, Kai”
Nao menciumnya lagi. Kai tidak memberontak. Ia malah membalas ciuman Nao. Nao meringis ketika Kai mencium sudut bibirnya yang luka. Basah oleh Kai.
“Nao—” Kai melepaskan ciumannya dan terengah. “aku mohon pergilah..”
Kali ini Nao tidak membantah. Ia mengangguk kecil dan berjalan keluar kamar. Kai memandang punggung Nao dengan nanar. Ia ingin sekali merengkuh Nao saat ini, mengatakan bahwa ia menyesal sudah melukainya. Namun, demi kepentingan dirinya dan Nao, Kai mengurungkan niatnya itu.
Kai mengacak-acak rambutnya. Berpikir beberapa saat, tiba-tiba saja suara tepukkan keras terdengar. Kai menampar pipinya sendiri. Wajahnya berubah serius. Ia mengusap air matanya dan mengambil strap handphonenya, serta beberapa foto serta poster Miyavi disana. Menggulungnya dengan rapi, Kai berjalan ke lemari pakaian. Ia mengambil jaket hitam kesayangannya dan membawa barang-barang tadi dengan kantung plastik yang cukup besar.
Kai berlari lagi, melewati Uruha begitu saja. Uruha yang tadinya ingin meneriaki Kai mengurungkan niatnya saat melihat barang-barang yang ia bawa. Tersenyum simpul, Uruha menghisap rokoknya dalam.
“berjuanglah, Kai”
*
“NAO!!!” Kai berteriak memanggil Nao yang hampir selangkah lagi memasuki rumahnya. Kai dapat melihat raut wajah Nao yang terkejut itu.
“apa?” tanyanya tanpa melihat ke arah Kai sedikitpun.
“ikut aku” tanpa aba-aba Kai menarik tangan Nao. Tidak dengan kasar, namun cukup kuat.
“kita mau kemana, Kai?”
“taman!”
.
.
.
.
.
Semilir angin musim gugur berhembus lembut menerpa wajah kedua lelaki yng kini tengah berada di taman yang sepi. Kai berjalan menghampiri seorang kakek tua yang sedang membakar dedaunan dan beberapa sampah. Kai menoleh ke belakangnya dimana Nao masih memerhatikan dirinya dengan penuh tanda tanya. Kai tersenyum.
“kau harus menyaksikannya. Kau harus menjadi saksi atas semuanya”
Tanpa sempat Nao bertanya apa-apa, Kai telah sampai di tempat kakek tua itu terdiam membisu memerhatikan barang yang ia bakar. Nao mengamati gerak gerik Kai yang berbicara dengan kakek itu. Kai menunjuk-nunjuk tas plastik yang ia bawa, lalu mengangguk-angguk. Setelahnya, kakek itu pun terlihat seperti mempersilahkannya akan sesuatu. Apa mungkin Kai ingin membakar barang yang ia bawa? Tapi apa itu?
Nao membelalakkan matanya saat ia tahu apa yang Kai bakar.
“KAI!!” Nao berlari ke arah Kai yang tengah asyik memandangi barang-barangnya itu terbakar. “apa yang kau lakukan?!” Nao masih shock dengan apa yang ia lihat.
“aku ingin menghapus semuanya..” jawab Kai tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari semua barang yang Nao yakini adalah sangat berharga bagi Kai. Setelah membungkukkan badannya ke arah kakek tadi sebagai tanda terima kasih, Kai berjalan dan mendudukkan tubuhnya di bawah pohon besar yang daunnya telah berguguran diikuti oleh Nao. Kai memandang ke arah langit dengan tatapan sendu. Nao menggenggam tangan Kai dengan lembut.
“mengapa kau menghapusnya?”
“aku ingin nor— aku ingin Uruha, Aoi, Reita, maupun kau tak memandangku dengan tatapan merendahkan lagi. Maka kuputuskan untuk menghapus semua tentangnya”
“kau yakin?” Nao mempererat genggamannya. Kai mengangguk mantap.
“ini memang keputusan yang mendadak. Beberapa menit setelah pergi dari kamarku, tiba-tiba saja pikiran ini merasukiku, dan disinilah aku. Jujur saja, aku lega. Memang sedikit demi sedikit, tapi aku memulainya dengan ini” Kai melirikkan matanya ke arah poster serta beberapa benda berharganya yang sudah menjadi abu.
Nao terdiam. Memang agak memusingkan ketika Kai dengan spontan membakar semua yang berhubungan dengan Miyavi. Mengingat, Kai sudah terlalu dalam mencintai idolanya itu sebagai pria.
“aku ‘tak ingin melihatmu hancur lagi, Kai”
“dan aku mengabulkan permintaanmu, aku tak akan hancur lagi”
“tapi aku tahu kau masih mencintainya”
“Nao, aku memang akan mencoba menghapus Miyavi-sama, tapi aku tidak akan melupakan perasaanku ini.” Kai melepaskan genggaman Nao, dan tersenyum pahit. Bibirnya bergetar menahan tangis. Nao yang mengetahui hal itu memilih untuk diam. “aku ‘tak mungkin melupakannya, mengingat dialah yang mengajarkanku tentang pahitnya mencintai, bagaimana perihnya hati saat mengetahui kenyataan, ia juga mengajariku tentang apa itu tegar, ia memberitahuku makna cinta yang sesungguhnya, bagaimana caranya agar bangkit dari keterpurukkan, dan bagaimana meghadapi diri yang lemah” Nao memandang wajah Kai yang akhirnya menangis juga. Kai tersenyum dalam tangisnya. Seperti lega. “ia cinta pertamaku.. bukankah cinta pertama itu tidak akan pernah terlupakan? Akhirnya aku menemukan cinta pertamaku, Nao” tubuh Kai bergetar.
“apapun yang kau lakukan, aku akan mendukungmu” Nao ikut menangis. Ia benar-benar merasa dirinya sungguh bodoh. “kau plin plan juga ya, Kai. Menghapus, tapi perasaanmu itu tetap melekat selamanya”
“aku melupakan untuk mengingat.. aku melupakan untuk mengenang..” Kai masih menangis. Perasaan yang ia tanam—selama hampir lima tahun—kini berusaha ia musnahkan. Tapi hidup adalah pilihan, dan Kai memilih untuk melupakannya. Melupakan untuk mengenang segalanya.
Nao merengkuh tubuh Kai lagi, ia mendekap Kai erat. Tanpa menyadari tiga pasang mata menatap mereka dengan tatapan lega.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
Ketika aku melupakanmu,
Aku akan mengingatmu.
Ketika aku mengingatmu,
Aku akan mencoba melupakanmu.
14 Februari 20xx
“OHAYOU~!!!!”
“Kai!! Berisik!” satu pukulan besar mendarat di kepala pria imut itu. Ia meringis sembari tertawa. “kau kenapa?” Aoi mengerucutkan bibirnya
“tebak aku dapat coklat berapa!?” Kai tersenyum lebar. Ia memang populer di sekolahnya. Setiap tahun, coklat yang ia terima jumlahnya tak pernah di bawah tigapuluh. Aoi dan Reita yang mendengar hal itu berpikir cepat.
“lima puluh?” Reita menjawab cepat. Kai menggeleng
“75?” Aoi menebak. Kai menggeleng lagi.
“ia hanya mendapat satu!” tiba-tiba saja Nao muncul dari belakang punggung Kai. Kai tertawa. Aoi dan Reita terlihat kaget.
“Nao benar!” Kai terkekeh.
“pasti karena kau ya, Nao-kun?” Aoi mengangguk-angguk Reita mengikuti.
“sepertinya” Nao kini duduk di samping Kai.
Empat bulan sudah berlalu sejak kejadian dulu. Hubungan keduanya semakin membaik.
“KAI!!!”
“huwaa” Kai bangkit dari duduknya ketika Hiroto tiba-tiba saja berlari ke arahnya. Lelaki itu terengah. Matanya terlihat serius. “kau ingin membuatku jantungan?!” tanya Kai sembari mengomel.
“dengar dulu!” Hiroto menepuk-nepuk dadanya, dan mengambil selembar kertas (atau lebih tepatnya brosur?).
“apa ini?” tanya Kai bingung.
“malam ini kan valentine, Miyavi-sama mengadakan konser. Dan dengar-dengar ia juga berduet dengan istri dan anaknya lho.” Kai mematung. Istri, anak, Miyavi.
“anaknya Miyavi sudah bisa bernyanyi??” tanya Aoi kaget
“ya belum lah!” Hiroto memukul kepala Aoi. Aoi meringis. “maksudnya, di panggung nanti, akan ada pertunjukan spesial. Miyavi berduet dengan istrinya, dan istrinya itu akan membawa bayi mereka juga.” Hiroto menjelaskan panjang lebar. Aoi mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Kai?” Nao menggenggam tangan Kai. Lelaki yang sejak tadi terhanyut dalam lamunannya kembali tersadar. Ia tersenyum menenangkan Nao
“lalu? Inti dari kau berteriak memanggilku tadi apa?” tanya Kai yang sudah duduk di samping Nao lagi.
“aku sudah memesan dua tiket. Tadinya aku ingin mengajak Shou, tapi ternyata sudah keduluan Tora” wajah Hiroto berubah memelas. Membuat ke-4 temannya tertawa. “kau mau menemaniku kan, Kai? Fans Miyavi-sama yang kukenal baik hanya kau dan Shou, sih”
Hiroto menggembungkan pipinya. Kai yang mendengar ajakan Hiroto tadi mendadak berhenti tertawa. Begitu juga dengan Aoi, Nao, dan Reita. Ketiganya memandang Kai bersamaan. Kai terlihat berpikir keras. Lalu tersenyum ke arah Hiroto.
“tentu! Aku ikut!” Kai menjawab dengan senang. Aoi, Nao, dan Reita terkaget-kaget. “deretan paling depan, kan?” tanya Kai lagi. Hiroto mengacungkan jempol.
“kau yakin, Kai?”
“aku datang sebagai seorang fans, lho” Kai tertawa lagi lalu memandang ke arah jendela.
■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□
OWARI
A/N: heyaaa ending macam apa itu? =A=a
Gaje pulak. Ga ada smut, lagi! DX *protes sendiri*
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Saya ga tau lho kenapa nulis fic kayak gini! Happy ending, lagi! Cuih! Tumben banget saya ga buat Angst! Padahal saya benci happy ending! *ngomeeeeeeeeeeel*
Terus, terus, part B panjaaaaaaaaaaaaaaaaang banget! LOL
Enak sih ngetiknya wkwk
dan untuk Emi-chan a.k.a Rangiku Rui *jujur, saya lupa saya manggil kamu apa. wkwkwk* maap ga fluffy banget ficnya ><
maklum, saya lebih suka fic yang tokohnya menderita lahir batin! XDD
Yah, sudahlah~ XD
tolong komen ya. :3
SANKYU MINNA~!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar