Kamis, 28 Oktober 2010

Fic -Tanjoubi Omedetou- Oneshoot (a LITTLE bit of smut, just a LITTLE!!)

Title : Tanjoubi Omedetou


Chapter : Oneshoot


Author : Yuta ‘uke’ Yutaka


Beta : no one


Genre : Romance (?) *100% I’m not sure about it*


Rating : NC-17


Disclaimer : I own this story, and I own Nao~ *plaak*


Pairing : NaoxKai, KaixNao


Warning : OOC, unbetaed, misstype, GAJE, a little bit of smut


A/N : I dunno why I wrote this fiction. Hope you like it


Enjoy~

■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□



Selamat ulang tahun,

Selamat ulang tahun,

Selamat ulang tahun,

Tidurlah bersama namaku.


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


“Selamat ulang tahun, Kai..” sosok berpipi chubby itu menyunggingkan senyuman simpul setelah melihat jam dinding yang menunjukan pukul 00.00. Matanya menatap pria yang ia panggil dengan nama Kai dengan lekat.


“……”


“lihat. Aku membeli kue keju, dengan buah jeruk di atasnya. Cantik bukan?” Nao terus saja mengoceh tanpa henti. Berusaha untuk tidak memerdulikan apakah Kai mendengarkan atau tidak.


“……”


“hhhhh—” kali ini Nao menghela nafas. Ia membuka kacamata berframe hitam tebal dan meletakannya ke meja kecil disamping tempat tidur. Nao memandang datar ke arah kue yang bertuliskan ucapan “selamat ulang tahun” dengan krim berwarna merah pekat. Ia menggunakan telunjuknya untuk mengambil satu sapuan penuh krim dan segera melumuri bibirnya dengan krim itu. “ini sungguh enak lho.” dengan perlahan, Nao mendekat dan mencium bibir Kai yang mendingin. Leader Alice Nine itu membuat bibir Kai ikut kotor dengan krim yang sengaja menempel di bibirnya.


“……”


Nao tahu benar apa yang ia lakukan saat ini tak akan mendapat balasan dari pria yang berada di depannya. Ia menangis. Nao menangis dalam ciumannya. Ciuman yang manis, namun sungguh dingin. Tubuhnya bergetar. Ia kembali terisak. Nao merengkuh tubuh Kai. Berusaha mencari kehangatan yang semu.


“aku tak menyesal Kai, kau milik ku saat ini. Milik ku selamanya”


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


27 Oktober 20xx . 10.00


Angin bulan Oktober bertiup lembut membelai dedaunan berwarna jingga. Kota Tokyo memang tak pernah sepi dari padatnya aktivitas manusia-manusia disana.


“Nao!!”


Pria berparas cantik dengan kacamata coklat besar mempermanis penampilannya berlari kecil menghampiri Nao. Wajah Nao terlihat lega karena pria tersebut telah datang.


“bodoh! kau ingin orang-orang mengenali kita?!” bisik Nao yang agak risih ketika beberapa gadis mulai memerhatikannya dengan seksama.


“maaf-maaf, aku terbiasa memanggil mu seperti itu.” jawab sang pria yang sedang membetulkan topinya. “maaf ya, Murai” ucapnya lagi. Memang benar. Nao sedang berusaha menyembunyikan jati dirinya yang sudah pasti di ketahui orang banyak. Jaket coklat tebal, kacamata hitam yang selalu menemaninya, dan topi musim dingin berwarna senada dengan matanya melengkapi penyamaran hari ini. Nao tak ingin rencananya hari ini hancur berantakan karena seorang ‘fans’ mengenali dirinya.


“ya sudahlah, jadi Sa— Sagara, sial” Nao mengumpat saat ia mendapati dirinya juga nyaris memanggil Saga dengan nama panggungnya. Saga tertawa kecil.


“Sagara, nama yang bagus.” Ucap Saga memuji


“yah, tiba-tiba saja terlintas di benak ku.” Ucap Nao berbohong.


“sekarang, kita akan kemana?” Saga memperhatikan beberapa pria manis yang melintas di depannya sembari sesekali tersenyum kepada pria-pria manis itu. Nao bergidik


“entahlah— aku tidak tahu..” jawab Nao dengan nada frustasi. Saga menoleh dengan tatapan kaget.


“hah?! Tidak tahu?! Aku kira kau sudah menentukan segalanya sejak awal” Saga menunjuk-nunjuk hidung Nao dengan telunjuknya. Nao pasrah.


“maaf.. aku ini memang tidak tahu akan kemana.”


“sisa waktunya kurang dari satu hari lho, Muraichaaaan!! Dan kau masih belum dapat menentukan?!” Saga melipat kedua tangannya di depan dada. Nao menggeleng. Pria cantik itu pun ikut menggeleng-geleng. “kalau begitu kita ke supermarket saja”


“eh?! Untuk apa kesana?” kali ini, usul dari Saga lebih membuat Nao kaget. “Supermarket? Memangnya ada kado yang bagus disana?”


“dia pecinta mayo kan? Belikan saja mayo sebanyak umurnya, ehmm— berapa umurnya? 29 ya?”


“kau gila?? Bisa-bisa ia menertawakan ku nanti!” Nao cemberut. Saga terkekeh. “kalau dia masuk rumah sakit karena terlalu banyak memakan mayo bagaimana? Sama saja bohong!” pria berwajah seperti tokoh kartun anak-anak—Winnie the pooh—itu semakin frustasi. Ia berpendapat bahwa Saga dapat membantunya. Mengingat ia sering berbelanja bersama Shou. Ternyata ia salah.


“baiklah, aku juga hanya bercanda. Bagaimana kalau satu set alat masak?”


“ia sudah punya itu”


“drum set?”


“percayalah ia tak membutuhkannya”


“sepasang stick drum? Kembaran dengan mu?”


“satu tahun lalu aku memberinya itu”


“boneka apel?”


“terlalu feminin”


“baju dalam yang sangat macho?”


TAKH!


Dalam sekejap Saga sudah merunduk sembali memegangi kepalanya. Wajah Nao terlihat memerah, dan tangan kanannya menggenggam sebuah payung lipat berwarna hitam.


“BAKA!!” teriak Nao tanpa memperdulikan sekelilingnya. Saga masih saja meringis kesakitan sembari cekikikan.


“ahahaha” tawa Saga semakin lepas. Ia puas mengerjai leadernya itu. “kau bodoh sih Na—Murai..” ejek Saga


“kau yang bodoh! Aku kan sedang serius!”


“ihihihihihi” Saga masih saja tertawa geli. “ahh, lebih baik kita coba saja mengelilingi toko aksesoris. Aku tahu Ka— pacar mu itu senang memakai aksesoris. Yah, meskipun tidak separah(?) Shiroyama dan Taka” jelas Saga panjang lebar. Nao masih saja cemberut saat merasakan tangannya di tarik paksa oleh Saga.


‘semoga hari ini aku berhasil’  batinnya.


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


Nao’s POV


Ini sudah toko ke 5 yang kami kunjungi. Aku melirik arloji ku.


“pukul 12 lebih 15 menit”


Sudah 2 jam lebih Saga mengajak ku berputar. Mug, jam tangan, phone strap, jaket, bahkan T-shirt tidak ada yang membuat ku ‘waaah’. Sial.


“hei Murai, jangan mencibir saja disitu! Coba lihat, ini bagus!”


Aku melihat Saga yang antusias sekali di sudut ruangan dalam toko ini. Dengan malas aku menghampirinya. Saga yang sudah ‘tak sabar segera menarik tanganku—lagi—untuk mendekat. Sekarang aku tahu mengapa ia begitu antusias. Sepasang sarung tangan berwarna hitam legam, namun berkilau seperti mutiara dan di ujungnya terdapat tulisan ‘Black Moral’ dengan salib mempermanis penampilan sarung tangan itu, membuat ku terkagum-kagum.


“keren” ucap ku tanpa sadar


“iya kan? Keren kan? Yang ini saja!” Saga tampak menang. Jujur ku akui memang benda ini bagus. Hanya sarung tangan, namun entah mengapa terkesan mewah.


“sepertinya aku akan mem— eh?? Tunggu dulu!” aku kembali memerhatikan sarung tangan itu. Salib, Black Moral, dan satu lagi, Ps Company? “bodoooooooooooh!!! Ini kan barangnya the GazettE?!?!?!” ucap ku geram


“eh??” Saga membesarkan matanya dan segera menatap sarung tangan itu lagi. Setelahnya ia kembali menatap ku dan nyengir “aku tidak memerhatikannya”


“ahhhh!! Bodoh!” tanpa aba-aba aku segera berjalan keluar dari toko itu, dan sebelum aku benar-benar meninggalkan toko, aku berbalik, melihat nama toko yang sejak tadi ku masuki. “cih. Pantas saja!”


“ooooooooi! Nao! Tunggu dong!” Saga terus saja memanggil ku—dengan nama itu—yang membuat ku mau tak mau berhenti.


“Sagara, nama ku Murai bukan Nao!” bentak ku setengah berakting. Seperti mengetahui maksud mimik dan kata-kata ku, Saga pun mengangguk.


“maaf Na— Murai, aku masih belum bisa melupakan Nao. Kau sangat mirip dengannya.”


‘lho?! Kenapa jadi begitu???’  batinku


“sudahlah, kau pergi saja. Aku lelah” yah, daripada ketahuan gadis-gadis yang akan menghancurkan rencanaku, lebih baik aku mengikuti permainannya saja.


“maafkan aku Murai, kali ini aku pasti akan melakukan yang benar!” Saga meraih tanganku untuk yang ke-3 kalinya, dan menggenggamnya dengan erat. Kalau saja ia bukan bandmateku, sudah ku gigit dia karena telah membuat aku malu di hadapan banyak orang. Dapat dengan jelas ku dengar bisikan beberapa orang tua yang menganggap kami gay. Uhh!!


“psst, Saga, mau sampai kapan kau menggengam tangan ku?” ucapku pada akhirnya


“eh?” Saga terkejut dan segera melepaskan genggamannya. “go-gomen” raut wajah saga mendadak berubah. Dan itu membuat ku geli.


”dasar orang aneh yang bodoh, lalu, aku masih belum dapat kadonya nih.” Keluhku


“begini saja, bagaimana jika kita ke toko perhiasan?” lagi-lagi, usul Saga sepertinya sanggup membuat ku terkejut “belikan dia cincin kembar. Satu untuk mu, satu untuknya!” Saga sepertinya serius. Cincin? Aku bahkan tidak terpikir sampai situ.


“ta—tapi..” entah mengapa aku ragu.


“sudah-sudah, tak ada tapi-tapi’an, ayo cepat! Aku tahu toko yang bagus dan prosesnya cepat” kali ini Saga tidak menarik tanganku, jadi mau tak mau mengikutinya dari belakang.


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


Author’s POV


27 Oktober 20xx 18.30

Matahari telah tertidur di peristirahatannya. Sinar ke’emasannya yang cantik perlahan hilang seiring pergantian waktu. Udara malam semakin mendingin. Namun, aktifitas kota Tokyo belum juga meredup. Masih banyak orang berlalu lalang. Beberapa pegawai kantor, dan remaja-remaja yang masih memakai seragam sekolah mereka. Entah kemana arah tujuannya.


“hhhhhhh—”


Helaan nafas terdengar di ruangan yang sepi. Pria berparas imut itu berkali-kali berjalan bolak-balik saking gugupnya. Setengah jam lagi pria yang sangat ia tunggu, pulang. Kai sudah berjanji padanya untuk pulang lebih awal. Dan Nao pun terlihat begitu senang saat mengetahui kekasihnya akan pulang lebih awal. Sebenarnya Nao sudah dapat menerima resiko kalau seandainya Kai tak dapat memenuhi harapannya itu. Nao tahu betul bahwa saat ini the GazettE sangatlah sibuk. Tour Nameless Liberty Six Bullets sangatlah menyita waktu ia dan Kai untuk sekedar melepas rindu melalui email. Belum lagi persiapan final tour sehari setelah natal yang jatuh pada tanggal 26 Desember di Tokyo Dome. Nao harus siap jauh dari sisi Kai karena kekasihnya itu semakin lama semakin sibuk. Ia memang harus benar-benar siap atas apapun. Namun, kemarin, saat Kai mengatakan ia akan pulang cepat hari ini, Nao benar-benar bersyukur.


“ashita anata no~ kimochi ga hanaretemo~ kitto kawarazuni aishiteiru~”


Menyanyikan lagu Cassis yang ia suka, Nao dengan riangnya menata meja makan. Tak lupa sesekali ia mengintip ke dalam kulkas tempat kue ulang tahun Kai berada. Kue berwarna putih berbalut cream cheese yang lembut, buah jeruk mandarin yang sengaja di letakan di atas kue untuk mempermanis penampilan, serta batangan coklat berwarna jingga dengan tulisan ‘selamat ulang tahun’ berwarna merah benar-benar membuat Nao tersenyum senang. Ia berharap Kai akan senang.


Melepaskan celemek hijau melonnya, Nao berjalan ke kamar. Mengambil bungkusan kotak kecil berbalutkan kertas merah marun yang mengkilap dan berhiaskan pita hitam. Jantungnya berdetak cepat. Akhirnya ia mengikuti saran Saga yang terakhir. Cincin perak yang cantik berukirkan nama masing-masing. Di dalamnya. ‘Murai Naoyuki’ akan ia berikan ke kekasihnya itu, dan ‘Uke yutaka’ akan ia simpan. Belum sempat ia melamunkan hal lain, dering nada ‘Fantasy’ membuyarkan segalanya.


“ck!”


Bedecak kesal, Nao segera keluar dari kamar dan meletakan kado spesial untuk Kai di atas meja makan. Ia meraih handphonenya yang berada di dapur. Berharap email yang ia terima itu dari Kai, dengan tergesa Nao membuka email tersebut. Sedetik kemudian, pria bertubuh berisi itu menutup mulutnya. Jauh dari yang di harapkan. Yang ia terima bukanlah email dari Kai. Melainkan email dari Tora. Tak kuasa membendung air matanya, ia menangis. Nao menangis karena Kai. Ia jatuh terduduk di atas lantai kayu yang dingin.


Kriiiiiiiiiing Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiing


Bunyi handphonenya yang begitu nyaring (kolot amat nada dering neng Nao) membuat Nao sedikit terkaget di buatnya. “Tora” nama itu yang terpampang di layar. Tanpa pikir panjang Nao segera mengangkat telepon dari Tora.


“mo-moshi-moshi” ucap Nao sedikit terbata


“aku tahu kau sedang menangis.” Suara berat di seberang sana, semakin membuat Nao menumpahkan kekecewaannya “aku minta maaf mengirimimu email seperti itu. Namun, jika aku tak memberitahumu sekarang, aku takut kau akan semakin kecewa.”


“tidak— aku tidak apa-apa”


“jangan berbohong Nao! Ehmm— begini, sudah sejak lama aku memerhatikan hubungan Aoi dan Kai. dan yah, hari ini semuanya terbukti. Aku mengambilnya setelah the GazettE minus Aoi dan Kai pulang. Karena menurut ku aneh Aoi maupun Kai belum pulang bersama yang lain, jadi ku pastikan saja, dan ternyata mereka—”


“cukup Tora!” potong Nao tanpa sempat gitarisnya itu menyelesaikan kalimatnya.


“maaf..” lanjut Tora sekali lagi.


“kau tidak salah. Terima kasih”


“Tung—”


Terputus. Nao memutuskan percakapan singkat itu. Hatinya begitu perih. Aoi, Kai, dua orang yang ia sayangi, mengkhianatinya dengan begitu keji. Berdiri dan berjalan gontai, Nao berusaha melupakan apa yang tadi ia lihat. Ia menyeka air matanya dan menampar pipinya sendiri. setelahnya, ia masuk ke kamar mandi untuk merias diri. Merayakan ulang tahun Kai. Nao berusaha fokus ke rencana awalnya


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


“tadaima..”


“okaeri, Kai” Nao berlari dan segera memeluk Kai yang belum sempat melepaskan mantel serta sepatunya. Ia memeluk Kai dengan begitu erat. Dapat ia rasakan Kai membelai lembut kepalanya.


“hei, aku belum melepaskan mantel dan sepatuku, lho” bisik Kai tepat di telinga Nao, membuat pria di pelukannya itu tertawa geli.


“ahh, maaf.” Kata Nao sekali lagi dengan memamerkan senyumannya. Sebisa mungkin ia berusaha menutupi semuanya.


“tidak apa. Aku juga kangen sekali denganmu. Dan maaf juga aku terlambat 2 jam dari waktu yang telah ku janjikan” raut wajah Kai yang begitu menyesal membuat hati Nao begitu perih. Kekasihnya ini sempat berselingkuh dengan sahabatnya—Aoi—2 jam lalu.


“un~ daijobu. Sekarang mandilah, aku sudah menyiapkan airnya. Kita masih harus menunggu 3 jam lagi sebelum hari ulang tahunmu tiba.” Nao pun ikut tersenyum dan melepaskan mantel Kai.


“memang calon istri yang baik..” Kai mengecup bibir Nao singkat sebelum berlalu ke kamar mandi. Meninggalkan Nao yang berusaha menahan tangisnya dengan susah payah ketika ia menghirup aroma seks yang amat pekat di mantel kekasihnya itu.


.
.
.
.
.


“Kai” Nao telah membereskan beberapa persiapannya, berteriak kecil dari luar kamar mandi.


“ya, sayang?”


“mau ku gosokkan punggungmu?”


“eh? Ti-tidak usah.. aku bisa sendiri kok.” Nao semakin yakin bahwa ada sesuatu yang Kai sembunyikan. Mengigit bibir bawahnya, Nao pun hanya menjawab ‘baiklah’ dan berjalan gontai ke ruang makan menunggu Kai selesai mandi. “kau milikku, Kai..” gumamnya.


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


Malam yang dingin menjadi saksi bisu.


“Kai~”


Nao melafalkan nama Kai panjang ketika ia merasakan klimaksnya sebentar lagi. Kai yang mengetahui hal itu semakin liar menghisap milik Nao. Bahkan ia memainkan ujung kepala ‘Nao’ dengan begitu nakal


“ahhhhh~~”


Nao mendesah panjang ketika ia merasakan miliknya menegang dan memuntahkan cairan putih yang kini tengah ditengak habis oleh Kai dibawah sana.


“aku merindukan cairan mu ini~” Kai menjilati sudut bibirnya yang masih terdapat sperma Nao.


Dengan sigap Kai segera mencumbu bibir Nao lagi. Nao dapat merasakan milik Kai yang menengang hebat bergesekkan dengan miliknya. Dan itu membuat hasratnya semakin naik lagi. Tangan Nao yang bebas segera menggenggam milik Kai dan mulai mengocoknya.


“euuuh~”


Kai mendesah nikmat ketika merasakan Nao semakin cepat mengocok miliknya yang sudah setengah mengeluarkan sperma. Melihat wajah Kai yang menikmati permainannya, Nao tersenyum puas. Ia pun mengganti tangannya itu dengan mulutnya. Menghisap dan memblow job total milik Kai yang sudah mengacung tegak.


“isssh~ Na—Nao..”  Kai meracau tidak jelas merasakan lidah Nao yang hangat dan basah bermain dibawah sana. “ahh—” Merasakan mulut Nao melepaskan kulumannya dan berganti ke bawah. Dimana bola-bola Kai yang sama kerasnya dengan penisnya kini mulai Nao jamahi. Menghisap seperti layaknya permen lollipop bundar, Nao memejamkan mata. Ia memang menyukai buah zakar Kai. Kai pun tak protes. Ia meremas rambut Nao, mendorong kepala pria chubby itu agar semakin dalam ‘memakan’ bola-bolanya. “Na— Nao, pe—penisku” nafas Kai semakin memberat. Ia memang menyukai mulut Nao dalam buahnya, namun, ia lebih menginginkan lidah menggoda itu di penisnya.


Tanpa memerdulikan Kai yang memohon dengan penuh kefrustasian, Nao tersenyum dalam permainannya. Ia menaklukkan Kai.


“akulah semenya saat ini”


“ngaaa~h” Kai kembali mendesah saat merasakan Nao bermain di ujung ‘kepalanya’. “Nao, aku mohon— aaaaaaaaaaaa~hh”


Hilang kontrol, Kai pun akhirnya mencapai klimaksnya. Meskipun tidak dengan cara yang ia harapkan. Nao lagi-lagi tersenyum. Ia melihat tangannya yang berlumuran sperma milik Kai. Mengendusnya perlahan lalu menjilatinya.


“ternyata, setelah mengeluarkannya dengan Aoi, kau masih mempunyai sperma sisa yang cukup banyak ya”


Kai terbelelak kaget mendengar kalimat yang baru saja Nao lontarkan. Ia menatap Nao yang masih menjilati tangannya itu.


“m—maksudmu?” masih mengatur nafasnya, Kai berusaha bertanya.


“jangan pura-pura tidak tahu, Kai. Aku tahu kau dan Aoi bercinta dua jam lalu”


selesai menjilati tangannya hingga bersih, Nao mulai merayap ke atas tubuh Kai. Menggesekkan miliknya yang sudah kembali tegang dengan milik Kai yang beberapa menit lagi baru saja memuntahkan cairan kejantanannya. Desahan Kai kembali terdengar. Nao membuka baju Kai dengan paksa. Mata coklat Nao melihat beberapa bekas merah di beberapa bagian tubuh Kai. Dada, perut, inilah yang Kai berusah sembunyikan sewaktu mandi tadi. Batin Nao.


“ini tidak seperti yang kau bayang—” kata-kata terhenti ketika ia merasakan Nao menjilati leher Kai dan mengigitnya. “AHH!!”


Erangan keras milik Kai terdengar tepat di telinga Nao. Nao mengigit leher Kai hingga biru tanpa memerdulikan kekasihnya itu kesakitan.


“aku tahu itu tanda cinta dari Aoi”


Nao menjilati telinga Kai. Ia tertawa pelan. Tangannya mengambil sesuatu di samping tempat tidur. Kai masih mendesah seperti orang yang frustasi. Nao menyentuhnya lagi, membuatnya kembali tegang. Tapi ada yang lain, Kai merasakan Nao sangat bernafsu. Tidak biasanya ia menjadi ‘seme’.


“Nao, itu bukan seperti yang kau pi—” kalimat Kai lagi-lagi terputus di tengah jalan. Ia kini bergidik melihat benda berkilat yang Nao genggam tepat di depan matanya ketika kekasihnya itu bangkit dari tubuhnya. “N-Nao?”


“kau itu milikku, Kai. Milikku selamanya”


Dengan seringai kecil di wajah. Nao memasukkan miliknya ke lubang Kai tanpa pemanasan terlebih dulu. Membuat Kai berteriak kesakitan. Dan disaat yang bersamaan, Nao menghujam perut Kai dengan pisau yang ia genggam.


“NAO!!!!!!!!!”


Menjerit kesakitan dengan begitu parah, Nao dapat merasakan nafas Kai yang tersengal-sengal seperti pelari marathon yang di kejar waktu. Kai meronta di bawah naungan Nao. Penis Nao yang tegang sama kerasnya dengan pisau yang kini juga kekasihnya itu keluar masukkan di perutnya. Nao mempercepat gerakan tangan dan pinggulnya. Menusuk dubur dan perut Kai dengan irama yang membuat pria berlesung pipi itu berlumuran darah dan sperma. Kai mengigit bibir bawahnya sampai berdarah. Tak kuasa merasakan sakit yang Nao berikan.


“nghh~” Nao mendesah. Ia merasakan klimaksnya sebentar lagi. Dengan cepat, ketika seluruh otot penisnya itu menegang, ia mengeluarkan penisnya dan mencabut pisau yang sedari tadi bergerak dengan ritme yang sama dengan penisnya keluar dari tubuh Kai. “aaaaaaaaa~h”


Nao akhirnya memuntahkan laharnya. Mengotori perut Kai yang sudah berlumuran darah. Peluh membasahi tubuh Nao. Ia melempar pisau yang masih ia genggam ke lantai. Masih menikmati orgasmenya, ia melihat Kai. Wajah pria itu sudah berubah pucat. Nafasnya terputus. Kai menangis.


“N—Nao, m—maaf—kan a—aku” dengan susah payah, Kai membuka mulutnya. Ia benar-benar tak menyangka akan menjadi seperti ini. Ia menangis. Ia menangis karena telah mengkhianati Nao di hari ulang tahunnya. Ia tahu Nao begitu mencintainya. Tapi ia malah bercinta dengan Aoi. Kai merasakan air matanya semakin tumpah, begitu juga dengan rasa sakit di perutnya yang robek. Bau anyir darah dan bau khas dari sperma Nao membuat kepalanya pusing. Dingin mulai menyelimuti tubuhnya. Ia masih menangis. Kai dapat merasakan Nao menciumi kening, pipi, dan bibirnya bergantian. Nafasnya semakin habis. Kesadarannya memudar. Ciuman terakhirnya terasa begitu hangat, menyesakkan, dan asin. Nao menangis. Menangis bersamanya.


“kau milikku Kai, selamanya.”


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


keabadian


“Selamat ulang tahun, Kai..” sosok berpipi chubby itu menyunggingkan senyuman simpul setelah melihat jam dinding yang menunjukan pukul 00.00. Matanya menatap pria yang ia panggil dengan nama Kai dengan lekat.


“……”


“lihat. Aku membeli kue keju, dengan buah jeruk di atasnya. Cantik bukan?” Nao terus saja mengoceh tanpa henti. Berusaha untuk tidak memperdulikan apakah Kai mendengarkan atau tidak.


“……”


“hhhhh—” kali ini Nao menghela nafas. Ia membuka kacamata berframe hitam tebal dan meletakannya ke meja kecil disamping tempat tidur. Tempat tidur yang kini sudah rapi, meskipun noda merah kecoklatan yang mengering masih menghiasi spreinya. Nao memandang datar ke arah kue yang bertuliskan ucapan “selamat ulang tahun” dengan krim berwarna merah pekat. Ia menggunakan telunjuknya untuk mengambil satu sapuan penuh krim dan segera melumuri bibirnya dengan krim itu. “ini sungguh enak lho.” dengan perlahan, Nao mendekat dan mencium bibir Kai yang mendingin. Leader Alice Nine itu membuat bibir Kai ikut kotor dengan krim yang sengaja menempel di bibirnya.


“……”


Nao tahu benar apa yang ia lakukan saat ini tak akan mendapat balasan dari pria yang berada di depannya. Ia menangis. Nao menangis dalam ciumannya. Ciuman yang manis, namun sungguh dingin. Tubuhnya bergetar. Ia kembali terisak. Nao merengkuh tubuh Kai. Berusaha mencari kehangatan yang semu.


“aku tak menyesal Kai, kau milikku saat ini. Milikku selamanya” Nao melepaskan pelukkannya. Ia berjalan mencari kado ulang tahun Kai. Cincin berwarna perak yang cantik ia keluarkan. “lihat!!” Nao berpose di depan Kai. Ia membuka bungkusan kecil itu dan memamerkannya dengan senang. “aku membeli cincin ini untukmu. Sudah terukir nama kita lho, Kai”


Nao tersenyum senang. Dengan sigap, ia memakaikan cincin berukir ‘Murai Naoyuki’ ke jari manis Kai. Ia juga melakukan hal yang sama pada dirinya. Tersenyum simpul, Nao berlari mengambil kamera yang menjadi hadiah ulang tahunnya kemarin. Menggenggam tangan Kai lembut dan mengangkatnya sembari memamerkan cincin, Nao memotret dirinya dan Kai.


“kau tahu? Dengan begini kau tak akan menjauh dariku, tak akan ada yang merebutmu. Aku merindukan saat-saat seperti ini” Nao membenamkan dirinya ke dada Kai. Bau formalin yang menyengat ia abaikan. Nao melingkarkan tangannya di pinggang Kai. “aku janji akan menikahimu secepatnya. Apa? Kau ingin kita menikah besok?” ia terkekeh sendiri. Lalu menarik nafas lagi.


“aku mencintaimu, Kai. Selamanya. Selamat ulang tahun ke-29”


■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□


OWARI

A/N : “aku mencintaimu, Kai. Selamanya. Selamat ulang tahun ke-29”

Heaaaaa... kenapa saya buat begini ya? =A=a
Oh iya, memang ada adegan smut yang saya sisipkan, tapi percayalah. Kalian kecewa kan??? Huwaaaaaaaaaa saya ini ga bakat lho nulis smut yaoi TT^TT . tapi bakatnya di smut yuri! #plaak

Ya sudahlah, jika ada yang membaca, komen ya

Tanjoubi Omedetou


Tidak ada komentar:

Posting Komentar