Jumat, 30 Juli 2010

sakura no ame (fic narsis *again?*) chap 3


title : sakura no ame

author : yuta 'uke' yutaka

chap : 3/??

beta : no one..

genre : romance, drama, hospital life, GAJE

disclaimer : I own this story..

pairing : with OFC..

warning : narcissism fic *again??*, OOC, unbetaed, misstype, GAJE.

A/N : hoaaaaa~m.. *yawn*


douzo...



* * *



10 mei 20xx



ZRRRSSSHHHH

Suara air mata langit terdengar begitu keras berusaha memasuki celah tanah yang kini semakin renta. Harum khas debu yang tertiupkan angin lembut tercium sangat menyengat. Seperti keseharian biasa, para orang-orang di seluruh gedung itu di sibukkan dengan urusannya masing-masing.
"bagaimana? terasa sesuatu?" tanya pria yang kini tengah berlutut di hadapan salah satu pasiennya..


"jawaban ku masih sama.." desah gadis itu. tangan kirinya malah sibuk memainkan rambut hitam legam yang cukup panjang milik pria di bawahnya.


"hhhh~"


"mengapa kau menghela nafas seperti itu yuu?!" selidik sang gadis


"aku manusia jadi wajarkan kalau aku menghela nafas?" jawab yuu seraya bangkit dari berlututnya dan berlalu begitu saja ke arah meja kecil di samping kanan yuta. mengambil beberapa lembar kertas yang gadis itu yakini adalah catatan perkembangan syaraf-syaraf tak berarti miliknya kini.


"tak ada kemajuan.." yuu bergumam kecil. ia menoleh ke arah yuta yang sedang sibuk bergerak ke tempat tidur.


"hmm? begitu.." jawab yuta tak perduli. yah, mungkin karena sudah puluhan kali ia mendengar kata-kata 'tak ada kemajuan' untuk dirinya.


"tapi aku yakin kau bisa.." bisik yuu tepat di telinga yuta, saat yuu menggendongnya naik ke tempat tidur.


"aku selalu mendengar kata-kata itu"


"ya lalu? apa aku harus bilang kalau 'yuta tak akan bisa' ??" yuu mendudukkan tubuhnya di bibir kasur. melepaskan jas putih yang mengidentitaskan dirinya sebagai seorang dokter


"kalau itu kenyataan ya sudah" gadis yang kini sedang memainkan batang hijau milik bunga matahari pemberian pasien no.444 itu tersenyum tipis


"lagi-lagi.." keluh yuu. "pantas saja kondisi mu tak berkembang, ternyata memang pada dasarnya kau tak mempercayai diri mu sendiri"


"untuk apa aku percaya jika kenyataan telah berada di depan mata?" yuta menatap wajah yuu dengan tatapan hampa. "bukannya itu sia-sia? mengharapkan sesuatu yang telah pasti tak'kan terwujud?"


"haiissh!? kenapa pasien ku yang satu ini sangat pandai merangkai kata-kata??"


"aduuuh!!!" tiba-tiba saja yuu menarik hidung yuta dengan kedua jarinya.

"yang ini terapi memancungkan hidung.. haha" ledek yuu.

“cih! Dasar sombong!” rutuk yuta

“lihat-lihat.. nona satu ini begitu pandai bersilat lidah..”

“a-aduuh!!” yuta meringis lagi ketika kedua jari yang mengapit hidungnya semakin membuat hidungnya terasa nyeri.

“aku sedang berusaha lho.. aku kan bukan orang yang gampang menyerah!” pria langsing atau lebih tepatnya kurus itu mengharapkan yuta mengomel dan mengumpat lagi. namun, yang ia dapat tak lain dan tak bukan adalah setetes dua tetes air yang terjatuh membasahi jari-jari lentiknya. "lhaaaa??"


"hiks.. " yuta terisak pelan, dan itu membuat yuu sedikit kaget.


"hoalaah??" pria itu menggaruk pipinya tanda bingung dan mengusap kepala gadisnya. "baka"



* * *



"jadi ia menangis lagi?" tanya reita yang kini sedang berada di ruang kamar ruki bersama dengan kedua suster andalannya. camui, dan tentu saja hazu juga.


"yaaa~h" decak yuu. "begitulah,,"


"ternyata memang tak ada kemajuan.." ucap reita sembari mengamati tekanan darah milik ruki. suster camui terlihat sibuk dengan pekerjaannya, dan suster hazu. ia sibuk mengurusi sesuatu di kamar ruki.


"sulit jika ia sendiri tak yakin dengan dirinya" yuu menempelkan punggungnya ke dinding. tersenyum pada ruki yang ia dapati sedang memperhatikan wajahnya. "yo ruki.." sapa yuu di sambut dengan acungan kedua jari telunjuk dan tengah berbentuk huruf V oleh ruki.


"anak itu keras kepala.."


"memang.." balas yuu cepat


"lalu, apa yang ia lakukan saat ini?" reita selesai melakukan pengecek'kan rutin. dan pria itu segera berjalan ke arah suster camui untuk memastikan perkembangan pasien mungilnya hari ini. “wah, perkembangan yang stabil ruki” puji reita kepada pasien yang lebih muda darinya 2 tahun itu


"terdiam menatap keluar sembari memainkan bunga matahari.."


"eh?" respon reita dan suster hazu bersamaan.


"lhoo? kalian kompak sekali" yuu menaikkan salah satu alisnya.


"bunga matahari?" tanya reita dengan alis menyatu. yuu mengangguk dalam diam


"kau mengajaknya ke bukit?" selidik hazu dengan wajah kesalnya


"tidak suster.. kemarin aku tak bertemu dengannya, lalu hari ini juga tak mungkin kan?"


"eh? lalu? Siapa yang memberikan bunga itu" hazu menggaruk pipinya yang tak gatal

“aku pikir dari kerabat atau temannya” yuu pun ikut bingung ketika tahu bahwa bunga itu yuta dapatkan dengan tiba-tiba.

“kerabat? Teman?” hazu menyipitkan matanya. “kan kau tahu tak pernah ada yang mengunjunginya lagi” ucapan hazu membuat yuu terdiam dan berfikir sejenak lalu begumam ‘oh! Betul juga’ dalam hatinya.


"ehmm jangan-jangan, pasien itu..." bisik reita

"pasien yang mana?" celetuk yuu asal.


"yang berada di kamar no.444?" dengan sangat tiba-tiba suara familiar bagi orang di ruangan ini ikut bergabung tanpa izin.


"uruha!?" reita dan yuu yang memang berada di dekat pintu berteriak bersama karena di kagetkan dengan wajah uruha yang tiba-tiba saja muncul. ruki tertawa kecil melihat kekonyolan dua dokter handal rumah sakit ini.


"d-darimana kau masuk?" tanya yuu. ia masih mengelus dada karena kaget tadi


"dari pintu lah dokter" jawab uru cuek dan berjalan dengan hati-hati mendekati adiknya. ruki. "memangnya ada apa dengan pasien itu?" uru menoleh ke arah reita dan pria itu pun menatap uru dengan tatapan-tak-usah-ku-jelask
an-kau-pun-dapat-membacanya-sendiri. "oh jadi begitu dok.. kasus aneh,, padahal aku tahu benar kondisi 'dia'.." uru tersenyum dan mengambil buah di samping tempat tidur ruki.


"ah, biar saya kupaskan.." potong suster camui.


"tidak apa suster, kupas saja bagian untuk ruki.. ini bagian ku" uru tersenyum lembut lalu berjalan ke arah sofa lembut berwarna coklat tua dengan tongkatnya.


"hey hey!! kalian ini sedang membicarakan apa?! no.444? pasien itu kan—“ yuu terlihat bingung


"ya.." reita menggaruk hidungnya.


"jangan katakan bahwa putri mu itu pergi berkencan dengan pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah pasien di kamar itu?!" yuu membuka mulutnya berceloteh panjang lebar


"hmm.. aku tak tahu apa dokter cemburu atau bingung" uru sibuk mengambil tissue agar biji-biji jeruk yang ia sisihkan tak berserakan kemana-mana


"bukan saatnya untuk cemburu!" hazu menambahkan. "ahh, saya dan suster camui harus kembali." hazu mengisyaratkan tangan agar camui mengikuti langkahnya.


"kalau ada apa-apa, tolong panggil saya ya tuan ruki.." ujar gadis bertubuh tinggi itu. ke'empat orang tak termasuk uru memandang suster itu dengan bingung. 'sejak kapan ia memanggil ruki dengan sebutan-tuan-??' ruki hanya mengangguk dan tersenyum.


"permisi" pamit kedua suster itu dan berlalu meninggalkan ruangan.


"ok. kembali ke masalah tadi.." yuu terlihat sangat antusias atau mungkin lebih tepatnya penasaran dengan hal janggal ini.


"tap—“


"tak masalah dokter, aku sudah tahu titik ke-anehannya kok" potong uru yang-memang-tahu tentang hal yang sedang reita pikirkan. pria berambut pirang itu pun akhirnya mengangguk.


"jadi sebenarnya kemarin—“



* *



yuta's POV

aku kembali menggerakkan kursi roda ku mengikuti alunan suara derap langkah pria di depan. Benar-benar pria horor dan misterius! Ia memang datang saat aku melirikan kedua bola mata ku ke arah jendela. senyumnya yang khas. betapa aku menyukai senyum itu. eh? menyukai?


"hahaha.."


"hee?" aku menghentikan kursi roda ku dan menatap wajahnya dengan bingung. "apa?! kenapa tertawa?"


"tidak.." jawabnya masih setengah terkikik.


"apa sih?!" balas ku kesal karena di tertawakan. pria aneh


"hmmpffh" ia menghentikan tawanya. "sudah-sudah,, kau ingin kesana lagi kan? mumpung waktu ku sedang luang sekali nih.." ucapnya seraya berjalan ke belakang ku dan mendorong kendaraan ku.


"hari ini waktu mu luang?"


"ya, begitulah.." ia bersenandung kecil


"aku juga~" jawab ku senang sembari menengadahkan kepala ku untuk memandang wajahnya.


"tapi aku tak akan menculik mu hinga sore~" ia menyentil dahi ku. aku meringis. "baiklah, jam berapa sekarang?"


"10.30" jawab ku


"jam 12 kita pulang.." ujarnya.


"EH?!"


"tidak ada kata 'eh'!! pokoknya kita kembali saat jam bunyi lonceng tengah hari terdengar.."


pria itu kembali melanjutkan bersenandungnya. aku memajukan bibir ku tanda kecewa. padahal aku memang mempunyai rencana untuk pergi sampai sore. bahkan kalau bisa sampai malam.


"tidak akan sampai sore, apa lagi malam!!"


haish!! aku lupa ia dapat-mendengarnya-


"dasar! seperti nenek tua"


"urusai!" aku menggembungkan pipi dan ia pun tertawa.


"baka~" ia mencubit pipi kanan ku dengan salah 1 tangannya. aku hanya dapat tersenyum dan meringis di saat yang bersamaan



* *



"ceritakan~" dokter berambut hitam legam itu memaksa sang-papa-dengan tak sabar. "ada hubungan apa yuta dan pria itu?"


"sabar dulu dong!" keluh reita kesal. ruki hanya memandang uruha dengan tatapan bingung, dan sebaliknya uru pun tersenyum penuh arti.


"habisnya sungguh tak masuk akal jika yuta dan dia— ahh! benar kan ruki?!" yuu tiba-tiba saja menolehkan kepala ke ruki. pria mungil itu hanya dapat mengangguk karena terkejut.


"memangnya kau kira aku tak bingung.."


"cih! mengapa pasien itu bisa—"


"tenanglah dok. kok kau seperti bertemu hantu saja" ledek uru. yuu memajukan bibirnya.


"habis kan setahu ku ia sudah 'begini'.." yuu membentuk tanda peace di kedua tangannya dan menekuk-nekuk jari telunjuk serta tengahnya itu seperti tanda petik. reita mengangguk "jadi kenapa bisa?!"


"aoi kau berisik sekali sih! aku kan bukan paranormal atau dia yang tahu segalanya" keluh reita yang jari telunjuknya mengarah kepada uru


"ma-maaf.." yuu mengusap tengkuknya. "aku hanya—“


"sekali lagi kau melanjutkan kata-kata mu, akan ku buat bibir mu maju" yuu menutup rapat bibirnya dan membuat wajah memelas ke arah reita.


"dasar! jadi uru, kau tahu sesuatu?" reita duduk di samping uruha yang sedang sibuk mengunyah buahnya.


"tidak"


"ayolah.. aku yakin kau tahu sesuatu" rengek reita kepada pasiennya yang satu ini


"tanyakan pada ruki.. ia sepertinya tahu sesuatu" jawab uru singkat. ruki gelagapan dengan pernyataan uruha tadi. ia menggeleng dan mengisyaratkan bahwa ia tak tahu apa-apa


"ayolah kalian berdua, jangan buat aku semakin penasaran" yuu mendekati ruki. ia menatap mata ruki dalam, berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi. namun ruki tiba-tiba saja tertawa dalam bungkamnya. "apa? mengapa tertawa" yuu mengerutkan dahi


"ia mencoba mengatakan agar kau jangan membuat yuta tahu dulu tentang pasien itu"


"tapi dia harus tahu!" yuu dan reita menjawab serempak.


"tanpa kalian beritahu ia pasti akan tahu.."


"ya ya baiklah!" reita beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu

"mau kemana kau?" yuu mencegat reita karena ia memang belum puas dengan semua berita hari ini. reita tak menjawab, tangannya membentuk angka 4 dan menampilkannya sebanyak 3 kali. yuu berdecak dan segera menyusul reita pergi meninggalkan uru dan ruki. Tanpa pamit tentunya


BLAM


suara pintu tertutup menggema di setiap sudut kamar yang sekarang hanya ber-isi-kan 2 kakak beradik itu. ruki berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah uruha yang kini tengah menatap ke arah bukit.


"lihat.. ternyata ia telah berhasil menemukan gadis yang ia tunggu-tunggu, persis seperti ramalannya" uru melihat ruki mengangguk kecil. "tapi sungguh di sayangkan akhirnya akan seperti itu" ulang uruha. ruki tersenyum pahit, tangannya membelai kepala keluarga satu-satunya.



* * *



"jadi sebenarnya nama mu itu siapa?" yuta menggembungkan pipinya tanda kesal. berkali-kali ia bertanya namun pria itu menjawab dengan banyak nama. hiroto, mizu, ryuu, bahkan taka.


"kan sudah ku jawab tadi.." jawabnya santai


"yang mana?! bahkan kau menjawab 4 nama ya!" yuta menatap tajam pada pria yang sedang bermain dengan hime.


"baik.. baik.."


"apanya yang baik? aku tak bertanya tentang keadaan mu"

“maksud ku baik aku akan memberitahukannya..” ia terdiam sejenak dan berdiri menghampiri ku. “panggil saja aku taka” dapat dengan jelas lengan kekar miliknya mengarah ke depan tangan ku.

“oh.. jadi yang terakhir itu nama asli mu” aku menjabat tangannya pelan

“bukan”

“eh? Lho?”

“kan sudah ku bilang. Panggil aku taka. Bukan, nama asli ku taka” ia terkekeh. Cih! Bocah menyebalkan

“ya ya.. taka” taka tersenyum lebar dan kembali menemui hime yang sejak tadi mengeong. Kucing itu Nampak sangat akrab dengannya. “ehmm~ taka.. ”

“apa?”

“sepertinya ada yang aneh”

“seperti??”

“papa menyembunyikan sesuatu” jawab ku asal

“tentang?”

“ya tentang mu lah!” aku mengerutkan dahi ke arahnya.

“ee? Hontou?”

“ya~ aku yakin ia mengenal mu.. meskipun tidak sebaik ia mengenal ruki dan uruha” aku mengangguk-angguk sendiri

“darimana kau mendapat pernyataan seperti itu?”

“habisnya, tidak mungkin papa tidak mengenal pasien dengan baik..”

“kau menanyakan sesuatu tentang ku?” kali ini reaksi taka lah yang aneh. Seperti kaget dan tidak suka

“eh? Ya.. maaf, tapi papa menjawab ia tak mengenal mu..” jelas ku sebaik mungkin sembari mencoba menggerakkan kedua kaki yang hasilnya masih tetap nihil.

“hahaha..”

“lho? Kenapa tertawa? Aku kan tidak sedang melucu..”

“ahh tidak, hanya saja papa mu itu tidak pandai berbohong” ia tersenyum lebar dan berusaha menahan tawanya. Benar-benar pria aneh

“berbohong? Tentang apa?” taka sama sekali tak menghiraukan pertanyaan ku tadi. Ia sibuk tertawa dan jujur. Tertawanya itu menyebalkan. Seperti mengandung banyak arti di dalamnya. “hey taka?”

“ehmm.. yang ku tahu, papa mu, ah! Orang-orang di sekitar mu pasti akan kaget jika kau mengatakan kau bertemu dengan ku..”

“ahh taka!! Kau membuat ku bingung!!!” keluh ku kesal. “Mengapa pakai bahasa yang sulit di mengerti sih?! Lagipula memangnya kenapa? Bukankah bagus aku mendapatkan teman baru??”

“ya~ ya~ menurut mu itu bagus ya?”

“tentu..” dan jawaban ku tadi membuat taka tertawa lagi.

“bagus bagus” ia menghampiri ku dan mengelus kepala ku. “kau teman pertama ku.” Ucapnya sembari tersenyum

“eh? Pertama?” taka hanya mengangguk kecil. Lagi-lagi dahi ku berkerut

“dan aku akan mencoba untuk tidak melupakan yuta..” ahh~ senyumnya. Beda dengan senyuman tadi. Kali ini mengapa begitu perih?

“mencoba?”


TENG TENG TENG

Dentang jam tua di rumah sakit menggema hingga kearah kami berdua. Pukul 12. Sial.

“sudah jam segini..”

“cepatnya!! Padahal aku baru saja berbibaca dengan mu..”

“haha,, kau lebih baik makan dan setelah itu beristirahat.. nanti papa mu pusing saat melihat putrinya hilang”

“bhuuuu~~” aku memajukan bibir saat taka mulai mengantar ku pulang. Perasaanku saja, atau memang waktu berjalan begitu cepat?


**

Author’s POV

Yuu terlihat begitu aneh setelah menutup pintu kamar yang tepat berada di depannya. Reita pun sama. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok dan menatap yuu dengan tatapan-yang-sulit-untuk-di-jelaskan.

“sudah lama..” yuu membuka mulutnya. Reita hanya terdiam. “benarkah yuta bertemu dengannya rei?”

“jika masih tetap tidak percaya tanyakan saja padanya langsung” jawab reita dan mulai berjalan menjauh

“mau kemana?”

“kembali bekerja”

“kalau memang benar, bukannya yuta harus tahu tentang dia?” reita menghentikan langkahnya. Yuu menatap datar punggung milik dokter di depannya.

“aku percaya dengan kata-kata uruha tadi” jelasnya singkat dan kembali berjalan meninggalkan yuu

“oh.. tanpa di beritahu yuta pasti akan tahu?!” yuu bergumam sendiri. “kok jadi aneh begini?!” keluhnya. “baiklah, sebaiknya aku tak perlu ikut campur. Aku lihat saja sampai musim panas, tapi— itu bukannya terlalu lama?! Ahh!! Sudahlah~ kerja kerja..” setelah puas berdebat dengan dirinya sendiri, yuu memutuskan untuk kembali bekerja.

“ok.. kita lihat saja setelahnya”


**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar